Seorang juru masak (disebut koki) harus sangat profesional dan tidak boleh mudah terpengaruh oleh suasana hati. Mereka harus menjaga pikiran tetap jernih dan perasaan hati yang tidak kalut. Hal ini bertujuan agar cita rasa pada setiap masakan mereka tidak "ambyar" dan menjaga profesionalisme mereka. Kembali lagi dengan penjelasan awal, bahwa ketiga hormon itu sangat mempengaruhi panca indera kita.Â
Selain itu, saat suasana hati baik, koki cenderung lebih kreatif dan berani mencoba kombinasi rasa yang baru, menghasilkan masakan dengan cita rasa lebih kompleks dan seimbang. Sebaliknya, suasana hati buruk dapat menyebabkan kurangnya perhatian terhadap detail, seperti bumbu yang kurang pas atau teknik memasak yang tidak sempurna.
Koneksi Emosional:
Proses memasak sering kali melibatkan energi dan cenderung mudah emosional. Bayangkan bekerja di ruangan yang terbatas, dikelilingi oleh banyak orang, jarak interaksi yang terbatas, dan harus bertahan di kondisi yang panas akibat dari banyak kompor dan oven yang menyala. Energi mereka menjadi mudah terkuras dan pasti emosi akan berguncang. Jika seseorang memasak dengan hati yang bahagia, mereka cenderung lebih memperhatikan elemen kecil yang membuat makanan lebih nikmat, seperti tingkat kematangan atau presentasi hidangan.
Kepekaan terhadap Bahan:
Sebagai seorang juru masak, tentu kita harus memahami setiap bahan mentah yang kita gunakan untuk hidangan yang akan disajikan. Suasana hati memengaruhi kepekaan terhadap rasa pada bahan mentah. Ketika suasana hati sedang buruk, kemampuan untuk mengevaluasi keseimbangan rasa saat mencicipi masakan dapat menurun, yang akhirnya memengaruhi cita rasa.
Kesimpulan
Sebenarnya, baik sebagai penikmat atau sebagai juru masak, suasana hati yang buruk akan mempengaruhi kenikmatan dari sebuah hidangan. Ketiga hormon, yaitu serotonin, dopamin, dan kortisol mampu mempengaruhi panca indera kita. Jadi, buat jargon terlalu asin karena kebelet nikah, atau rujak yang terlalu asam karena ingin punya anak, sebenarnya mengarah ke suasana hati dari si pembuatnya.
Meskipun hanya pengucapan asal seperti itu, jika kita telaah lebih dalam lagi, sebetulnya maknanya kepada suasana hati yang sedang tidak baik-baik saja. Termasuk ketika kita sedang berpacaran dan berniat membuat masakan untuk pacar terkasih, makanan yang kurang nikmat menjadi nikmat dan kalau hidangannya nikmat pasti dibilangnya "dibuat dari hati" sambil kesemsem karena senang dipuji oleh pacar terkasih.
Jadi, kalau ingin masak yang enak, selain hapal resepnya, suasana hati kita juga harus enak. Supaya setiap masakan yang kita buat, itu sepenuhnya dibuat dari hati yang gembira.
Daftar Pustaka:
- Gibson, E. L., & Green, M. W. (2002). Nutritional influences on cognitive function: Mechanisms of susceptibility. Nutrition Research Reviews, 15(1), 169–206.
- Drewnowski, A., & Almiron-Roig, E. (2010). Human perceptions and preferences for fat-rich foods. Progress in Lipid Research, 49(3), 248–253.
- Seo, H. S., & Hummel, T. (2009). Emotional influences on olfactory perception and processing. Frontiers in Psychology, 3, 2–7.
- Macht, M. (2008). How emotions affect eating: A five-way model. Appetite, 50(1), 1–11.
- Wansink, B. (2010). Mindless eating: Why we eat more than we think. Journal of Consumer Psychology, 20(3), 239–245.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H