"Kok cowok mainnya sama anak cewek?"
"Cowok tuh mainnya di luar! Main bola di lapangan! Jangan kayak anak cewek mainnya di rumah!"
"Udah! Anak cowok jangan nangis!"
Banyak dari kita, terutama kaum laki-laki, mendengarkan kalimat-kalimat seperti di atas saat kita masih kecil. Anak cowok tidak boleh begini, anak cowok tidak boleh begitu. Anak cowok harusnya begini, anak cowok harusnya begitu. Untuk sebagian anak laki-laki, mereka merasakan tidak ada masalah karena bisa mengikutinya. Tapi, bagaimana dengan anak laki-laki yang justru ketika mengikuti itu, ia merasa tidak nyaman?
Itulah yang dinamakan toxic masculinity, ketika laki-laki dipaksa untuk mengikuti nilai maskulinitas yang diterapkan oleh masyarakat secara turun temurun. Dan ketika nilai-nilai itu tidak diterapkan, maka laki-laki dianggap tidak maskulin dan menyimpang. Yang disayangkan, biasanya nilai-nilai maskulinitas yang diterapkan hanyalah sebatas nilai-nilai yang bisa dilihat oleh mata, seperti anak laki-laki harus bermain di luar, tidak boleh bermain dengan anak perempuan, tidak boleh menyukai warna merah muda, atau contoh yang lebih ekstrim adalah tidak usah mengerjakan pekerjaan rumah karena itu adalah tugas perempuan.
Mari kita lihat dari salah satu contoh toxic masculinity masa kecil yang sayangnya masih diterapkan oleh orang tua sampai sekarang. Anak laki-laki tidak boleh menangis dan harus kuat. Ya, banyak dari orang tua yang mengatakan itu pada anak laki-lakinya. Padahal menangis adalah satu cara yang dilakukan oleh anak-anak untuk mengungkapkan perasaannya. Itu mengakibatkan banyak laki-laki di luar sana yang memendam perasaannya atau mengalihkannya ke hal lain. Apakah itu sehat? Tentu tidak. Berdasarkan data WHO, laki-laki lebih rentan bunuh diri daripada perempuan. Kenapa? Tentunya karena kebiasaan memendam emosi dan tidak tahu cara mengungkapkannya. "Laki-laki itu harus kuat," kata mereka.
Toxic masculinity juga bisa dilihat dari nilai-nilai yang diterapkan oleh sebagian keluarga. Seperti misalkan anak perempuan harus mengerjakan pekerjaan rumah sebelum bisa keluar, itupun ada jam malam. Sementara saudara laki-laki mereka diperlakukan layaknya pangeran. Bebas melakukan apapun, tidak perlu mengerjakan pekerjaan rumah, boleh pulang larut dengan alasan "Dia anak laki-laki, bisa menjaga diri". Apa yang dihasilkan dari perlakuan orang tua ini? Gender superiority. Laki-laki akan merasa dirinya lebih superior dari perempuan.
Dalam bentuk lain, toxic masculinity juga bisa dilihat dari kesukaan atau minat si laki-laki. Laki-laki yang berminat dalam bidang maskulinitas seperti olah raga, pekerjaan berat, dll akan dianggap "cowok banget". Tapi bagaimana laki-laki yang berminat dalam dunia feminim seperti fashion, make up, hair styling dll? Tentu sebagian dari masyarakat masih memandang mereka sebelah mata.Â
Tapi, apakah maskulinitas hanya dinilai dari itu? Apakah jika seorang laki-laki memiliki pekerjaan maskulin, tapi tidak bertanggung jawab terhadap orang-orang di sekitarnya terutama keluarga, masih bisa dibilang maskulin? Atau seorang laki-laki yang pekerjaannya feminim, tapi dia bertanggung jawab akan orang-orang di sekitarnya, menjadi tulang punggung keluarga, masih tidak maskulin?
Sudah saatnya kita memutus rantai toxic masculinity ini. Laki-laki juga manusia biasa. Laki-laki juga boleh menangis, laki-aki juga memiliki tanggung jawab untuk orang-orang sekitarnya, laki-laki juga bebas memilih identitas dirinya. Sudah saatnya laki-laki bebas menyuarakan, "Aku adalah laki-laki yang seperti ini, dan aku bangga.". Yang bisa kita lakukan saat ini adalah berhenti men-judge kehidupan orang lain. Jika tidak mampu mengucapkan hal yang baik, lebih baik diam. Dan bagi para orang tua yang punya anak laki-laki, biarkan anak kalian menangis. Biarkan anak kalian mengkomunikasikan perasaannya kepada kalian.