Mohon tunggu...
Bagas Candrakanta
Bagas Candrakanta Mohon Tunggu... Mahasiswa -

SMI - Sopan Mengelaborasi Ide

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Orang Tua Gagap Teknologi

27 Desember 2016   13:24 Diperbarui: 27 Desember 2016   16:21 400
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: AndrieZone.com

Sudah menjadi rahasia umum kalau kebanyakan orang tua, gak semuanya ya, itu kudet (kurang update) dan gaptek (gagap teknologi). Hal ini disebabkan perkembangan teknologi mengalir kencang sekali, sampai mereka tidak bisa ‘membuntuti’. Berbeda dengan generasi milenial, yang dari lahir sudah disuguhi oleh keragaman teknologi canggih. Orang tua dulu bahkan untuk membuat skripsi, harus cari bahan di hutan belantara bernama perpustakaan. Di perpustakaan ini gak dapat, cari ke perpustakaan lain. Bandingkan dengan kita, para generasi gadget, yang ingin cari tempat hangout saja tinggal bilang ke Google. Orang tua zaman dahulu hiburannya pun cuma siaran radio. Mentok-mentok TVRI.

Saya mempunyai pengalaman lucu berkenaan tentang interaksi dengan para orang tua yang kurang paham teknologi. Ada dua kewajiban yang harus saya jalani setiap harinya, yaitu memasukkan nomor handphone dan membesarkan volume televisi. Ini adalah permintaan dari saudara Kakek, yang saya panggil Kowan. “Tolong masukkan nomor ini ke handphone Kowan. Tulis namanya Sri,” sambil memberikan catatan kertas berisi nomor telepon.

Saya juga bingung kenapa Kowan tidak mau diajarkan memasukkan nomor telepon sendiri. Beliau selalu menolak. Ada satu kejadian Kowan hampir ke toko reparasi handphone gara-gara tidak bisa mendengar suara sewaktu menelepon. Sewaktu saya cek, ternyata volumenya 0. Waduuh, untung nggak sempet ke toko reparasi. Ada juga Kowan bilang, “Untuk besarin suara pencet yang mana ya?” perihal televisi. Padahal saya sudah memberi tahu setiap hari, “Pencet tombol nomor tiga dari kanan,” sambi mengerutkan kening.

Pengalaman serupa tidak luput dari bibi saya. Bibi saya pernah menanyakan bagaimana cara menghidupkan flashlight, padahal tulisan “Lampu Senter” tertera dengan besar dan jelas di handphone-nya. Tetangga saya pernah sampai mampir ke rumah hanya untuk menanyakan mengapa handphone-nya tidak bisa menelepon. Ternyata masang kartu SIM-nya terbalik. Saya juga bertugas sebagai pengecek email Mama. “Eh, tolong cek email Mama. Ada balasan gak ya dari teman Mama?” kata mama saya. Setelah melapor bahwa belum ada balasan, saya mengatakan buka pesan di email itu simpel, sama seperti buka SMSJawaban beliau, “Malas ah. Mama udah tahu kok belum ada balasan.” -__-

Hahaha. Itu adalah sebagian pengalaman saya saat beinteraksi dengan orang tua yang kurang paham menggunakan teknologi. Bagaimana dengan kalian? Tulis di komentar ya. Saya mau tahu pengalaman serupa :D

Saya tidak menyesali perlakuan mereka. Yang patut disesalkan ialah membiarkan mereka bergantung sama saya karena keengganan/keogahan/kemalasan saya untuk mengajari. Kita seakan sengaja membuat mereka tidak paham terus-menerus dengan alasan, “Ah udah tua.... Gak bakal ngerti.” Saya memutuskan untuk mencoba memulai mengajari dan saya pun sadar, butuh kesabaran ekstra. Saya tidak mau karena anggapan bahwa “mereka pasti tidak mengerti” atau “buat apa mereka mengerti”, membuat saya berhenti.

Ada beberapa alasan mengapa kita harus turun mengajari para golongan yang tertinggal oleh perkembangan teknologi:

  • Dengan kita mengedukasi mereka, kita meminimalisasi kemungkinan mereka tertipu oleh oknum-oknum yang berniat jahat. Mungkin tidak perlu dijelaskan bagian ini. Sudah konkret.
  • Dengan membimbing mereka, kita memberikan mereka sebuah ‘kerjaan’ untuk terus berpikir. Orang tua itu gampang pikun. Mereka butuh kegiatan. Orang tua tidak boleh sampai berhenti berpikir. Oleh karena inilah kita masih sering mendapati para orang yang sudah berumur sering mengisi TTS atau bermain Sudoku. Albert Einstein mengatakan, “Saya terkadang mengerjakan kembali soal-soal fisika, karena saya butuh berpikir.” Lihat saja Pak Habibie yang sudah berumur tapi masih menyempatkan menulis buku, men-dubbing film animasi, dan terlibat dalam pembuatan film tentang dirinya. Lihat pula Pak Tjiptadinata Effendi, sang Kompasianer of the Year 2014, masih rutin menulis artikel bermanfaat.  

Mari membimbing mereka - yang bahkan mereka pun tidak mau diajari - untuk lebih peka terhadap teknologi. Sekali lagi, jangan jadikan asumsi “mereka tak butuh ini” , “Mereka pasti gak ngerti” apalagi “aku males ah. Repot”. Modalnya cuma satu kok, sabar.

We need to try orang tua gagap teknologi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun