Mohon tunggu...
Bagas Candrakanta
Bagas Candrakanta Mohon Tunggu... Mahasiswa -

SMI - Sopan Mengelaborasi Ide

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Lebih Baik Membaca Buku Biografi daripada Buku Motivasi

29 Januari 2017   08:13 Diperbarui: 29 Januari 2017   08:32 1967
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar : famousbirthsdeaths.com

| Buku Self DevelopmentVs Buku Biografi |

Buku biografi adalah buku yang mengkisahkan kehidupan seseorang, diceritakan pula pengalaman-pengalaman yang dirasakannya. Sungguh banyak hal yang dapat dijadikan memori indah setelah membaca buku ini. Buku self development adalah buku yang berisi tentang petuah-petuah yang dapat menambah rasa bijak bagi orang yang membacanya. Awalnya, saya menyukai buku self development, seperti buku ciptaan John C. Maxwell. Dengan membaca buku self development, saya mendapatkan pelajaran yang membuat saya lebih bersemangat beraktivitas. Tetapi, setelah membaca banyak buku self development, saya merasa sepertinya buku ini sama saja. Saya sudah membaca buku John C Maxwell, Davit Setiawan, sampai Sulaiman Budiman. Dari buku ini ke buku itu, saya rasa hampir tidak ada bedanya. Hanya berbeda judul, tidak ada dimensi baru.

Karena memang hobi membaca buku ( kecuali buku pelajaran -_- ), saya mencari jenis buku lain yang dapat memuaskan ‘nafsu’ ini. Saat mengelilingi salah satu toko buku terkenal di Indonesia, saya melihat gambar Andrea Pirlo, pemain sepakbola yang saya kagumi. Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk membeli buku tersebut. Hasilnya pun sama, tidak membutuhkan waktu yang lama untuk menyelesaikan buku ini. Saya menuntaskan buku yang mempunyai kurang lebih 200 halaman, kurang dari 48 jam! Saya sangat menikmati ‘perjalanan’ yang dibawakan buku ini. Sangat menyenangkan.

Mulai saat itulah, saya mengganti buku self development dengan buku biografi. Saya membaca lebih banyak buku biografi daripada buku motivasi-motivasi, yang sebenarnya, ‘itu-itu saja’. Banyak alasan mengapa teman-teman Kompasioner mengikuti pilihan jenis buku saya.

| Buku Biografi itu Bercerita |

Teman-teman pasti pernah duduk di kelas dan mendengarkan kisah dosen atau guru saat menduduki bangku sekolah dulu. Mata pelajaran adalah matematika, tapi yang dibahas adalah ikan sang guru. Mata kuliah tentang Akuntasi,  tapi yang diceritakan dosen adalah pengalamannya menjadi dosen. Pernah, kan? Semua murid sangat menyukai hal itu, melebihi mata pelajaran yang bersangkutan. Ada mahasiswa yang terkadang bersuara, “cerita saja dong, Pak. Hehehe”. Bangsa ini memang senang gosip, hehehe.  Mendengarkan cerita atau kisah, bukankah itu menyenangkan? Itulah yang menjadikan buku biografi menarik, unsur yang menjadikan buku ini buku adalah pengalaman orang yang bersangkutan.

Saya mendengarkan kisah seseorang saat membaca buku biografi, pengalamannya.  Mereka menceritakan pengalamannya dan bagaimana mereka melewatinya. Dengan membaca bukunya, saya menjadi tahu bagaimana caranya melihat sesuatu. Sudut pandang saya berubah, saya menjadi dirinya, sudut pandangnya. Setelah membaca kisah Ahok di buku tentangnya, saya dapat melihat perjuangan dirinya menjadi seorang birokrat itu susah, karena keturunan Tiongkok. Setelah membaca buku tentang Andre Pirlo, saya mengetahui bakat itu kadang membuatnya frustasi. Buku biografi memberikan wawasan yang lebih banyak, daripada yang diberikan buku self development. Sesungguhnya, kebanyakan buku motivasi adalah kumpulan kisah orang-orang sukses, yang dipermak dengan wejangan-wejangan dari sang penulis. Lebih baik jangan nanggung, ‘kecebur’ saja sekalian. Jangan hanya melihat banyak kisah orang sukses dalam satu buku, tapi rasakan buku tentang mereka masing-masing. Lebih lengkap, lebih dalam, lebih tajam, setajam silet.

| Idola |

Alasan saya membawa pulang buku Pandji Pragiwaksono berjudul “Menemukan Indonesia” adalah Pandji itu sendiri. Dengan membaca buku tentang pribadi yang saya sukai, membuat saya membaca hal-hal yang tidak asing, saya membaca apa yang saya suka. Saya sangat rela menghabiskan waktu untuk membaca sesuatu yang saya cintai. Buku “Menemukan Indonesia” berisi tentang kisahnya mengelilingi 4 benua dalam tur stand-up comedy. Lagi-lagi tentang pengalaman, kan? Tidak ada yang lebih baik dari mendengarkan cerita idola, inilah kelebihan buku biografi. Bayangkan sedang berjalan di toko buku, tiba-tiba secara tidak sengaja melihat wajah sang idola terpampang di cover buku. Asalkan di cover buku adalah gambar wajah sang idola, langsung ‘dibungkus’ deh. Ketika mengidolai seseorang, kita menyukai segala sesuatu tentang mereka, kita menyukai subyeknya. Akan menjadi perjalanan yang menyenangkan apabila mendapatkan kesempatan mengetahui dirinya jauh lebih dalam. Tidak jarang juga kita menonton film yang mengisahkan figur yang kita kagumi. Sepertinya saya tidak perlu menyebutkan film sukses apa saja yang temanya mengisahkan seorang tokoh publik. Sekedar informasi, apa buku yang dibaca Ridwan Kamil saat dirawat di rumah sakit baru-baru ini? Buku biografi Nabi Muhammad.

Berbeda dengan buku biografi, kita tidak membeli buku self development karena subjeknya terlebih dahulu. Kita menyukai tulisannya, pemikirannya. Kita menyukai obyeknya. Saya tidak terlalu peduli siapa yang menulis, asalkan tulisannya keren, ya saya suka. Akibat menyukai tulisannya, baru saya mengetahui siapa yang menulis.

| Belajar Sambil Bermain |

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun