Mohon tunggu...
Bagas Candrakanta
Bagas Candrakanta Mohon Tunggu... Mahasiswa -

SMI - Sopan Mengelaborasi Ide

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Generasi yang Tidak Memerlukan Bakat

22 Januari 2017   16:27 Diperbarui: 22 Januari 2017   16:46 486
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar : Plimbi.com

| Bercita-cita Mempunyai Cita-cita |

Saat masih kecil, saya mempunyai mimpi menjadi pelatih Pokemon. Alasannya simpel, karena menyukai gamePokemon,yang saat itu saya mainkan di Gameboy. Saat berusia 6 tahun, saya bercita-cita menjadi pemilik dunia. Alasannya simpel, karena menonton Doraemon dan Ninja Hattori. Saat berusia 10 tahun, saya bercita-cita menjadi seorang koki. Alasannya simpel, karena suka masak telur dadar. Selang beberapa bulan kemudian, saya bercita-cita menjadi pesulap. 

Alasannya simpel, karena melihat kompetisi “The Master” besutan Deddy Corbuzier di RCTI. Pada saat mengenal sepakbola, saya mau menjadi pemain sepakbola terkenal yang digaji miliyaran setiap minggunya. Pada saat SMA kelas 2, saya  bercita-cita menjadi dokter. Alasannya simpel, karena menyukai pelajaran biologi. Namun, semakin bertambahnya usia, saya semakin menyadari ketidaksadaran saya akan sesuatu hal yang saya cintai. 

Saya menyadari bahwa saya tidk bisa bermimpi jika tidak mempunyai bakat. Singkatnya, saya tidak tahu mau jadi apa. Akhir-akhir ini, saat sedang asyik menggoreng telur, saya menyadari bahwa saya tidak memiliki bakat karena telurnya hancur. Bukan telur dadar namanya kalau telur malah hancur. Baru-baru ini, saya menonton sebuah anime berjudul “Monster”, yang mengisahkan seorang dokter yang menolong seorang anak kecil. Ternyata, anak kecil yang ditolong sang dokter adalah seorang pembunuh. 

Ya, premis dari anime ini adalah wrong to do the right thing. Selama menonton anime ini, saya menyaksikan banyak adegan banyak darah berceceran. Ada perasaan ngeri/geli dalam hati melihat darah-darah, yang membuat saya mengambil kesimpulan, “gak cocok jadi dokter nih”. Saya semakin sadar bahwa di dalam diri ini belum memiliki bakat, belum memiliki hal yang bisa saya katakan, “gue banget!”. 

Menurut saya, tidak memiliki bakat berarti tidak memiliki sesuatu yang sangat amat disukai. Untuk mendapatkan sesuatu yang disukai, kita harus melakukan banyak kegiatan. Kegiatan yang membuat kita rela menguras tenaga paling banyak, itulah sesuatu yang disukai. Sekarang, saya mengetahui apa bakat saya. Bakat saya adalah tidak memiliki bakat dan tidak pusing. Sebuah pikiran yang menguras hati berkombinasi sia-sia bila memikirkan ketidakadaan bakat. Di tahun 2017 ini, semua orang bisa menjadi siapa dan apa saja.

| Menjadi Apa Saja |

Sekarang adalah zaman dimana informasi dimana-mana. Bumi yang besar ini hanya sekecil genggaman tangan akibat munculnya smartphone. Siapa saja bisa mengakses apa pun yang ada di dunia ini. Jarak antar Negara menjadi hal kecil, kecuali para golongan alayyang suka teriak LDR. Saya termasuk generasi milenial, sebuah generasi yang dari lahir sudah ‘disuap’ dengan megahnya teknologi. Merasa tidak mengetahui akan semua hal? Saya langsung mengakses Kompasiana, yang tidak hanya menyajikan informasi, tapi opini. Saya menyukai beropini. Oleh karena itulah, saya menyukai mendengar opini orang lain. Saya rasa apabila saya memanfaatkan informasi yang bertebaran ini, saya bisa menjadi apa saja.

| Hangat dan Tenang |

Mari bandingkan dengan orang tua kita, yang serba kekurangan. Untuk sekedar hiburan saja, hanya segelintir golongan yang mempunyai televisi di rumahnya. WarTel yang bertransformasi menjadi WarNet, menjadi bukti bahwa kalau masalah komunikasi, zaman saya jauuuuh lebih enak. Zaman orangtua kita adalah zaman yang masih diperlukan membeli sebuah peta apabila berkunjung ke tempat tertentu. Sekarang, ada peta elektronik. Mereka, yang sedang menyusun tugas akhir studi, harus menjelajah hutan belantara bernama perpustakaan. Tidak mendapatkan informasi di perpustakaan A, cari di perpustakaan B, dan seterusnya. 

Sekarang, perpustakaan hanya menjadi tempat yang dikunjungi untuk mendapatkan sinyal Wifiatau sekedar ngadem.Dahulu, aktivitas yang paling sering dilakukan para orang tua adalah membaca buku. Yaa, karena memang sedikitnya pilihan aktivitas. Jangan heran jika para orang tua memiliki rak yang berjejer untuk menyusun ‘temannya’ dengan rapi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun