Selera
Kalau berbicara tentang kreatifitas, pikiran kita pasti akan langsung tertuju ke Negeri luar. Kita yakin bahwa orang luar itu ‘lebih’ dari Indonesia, terutama dalam industri perfilman. Perhatikan saja banyak orang Indonesia yang berlangganan televisi kabel untuk mendapatkan siaran luar, seperti Disney Channel, Foxxcrime, Celestial Movie, HBO dan lain-lain. Mengapa banyak orang yang berlangganan tersebut? Padahal ada lho pilihan untuk berlangganan film lawas Indonesia.
Saya pernah menanyakan kepada Paman saya yang sudah lama berlangganan televisi kabel. Paman saya menjawab, “selera itu harus tinggi dan selektif. Wawasan kita akan lebih luas jika terbiasa dengan yang kreatif. Nah, siaran luar lebih kreatif” Begitulah kira-kira. Kesimpulan Paman saya adalah produk luar itu lebih berkualitas dan layak dibayar mahal. Layak dibela.
Menurut pendapat saya, orang luar itu memang lebih kreatif. Bagi teman-teman Kompasianer yang membela bahwa Indonesia lebih kreatif, mungkin teman-teman belum merasakan bagaimana dahsyatnya daya cipta mereka. Ada juga orang yang menyatakan Indonesia lebih kreatif daripada Negara luar. Sebenarnya, manusia di Indonesia itu tak kalah kreatif, terutama dalam industri film.
‘Liar’ dan ‘Keterlaluan’
Bayangkan betapa ‘liar’ ide para creator film luar Negeri. Dunia dimana mainan bisa bergerak dan berbicara serta memiliki kisah tersendiri, Toy Story. Dunia dimana para ninja berkeliaran, Naruto. Dunia dimana para binatang-binatang dapat berbicara layaknya manusia dan berambisi menjadi penyanyi, Sing. Dunia dimana sihir menjadi ‘teman’ dikehidupan sehari-hari, Harry Potter.
Untuk siaran hariannya juga tak kalah luar biasa. Tengok saja CSI (Crime Scene Investigation) yang mengisahkan kasus-kasus kejahatan yang diselesaikan oleh para polisi/detektif. Itu luar biasa! Film yang saya sebutkan diatas itu hanya sebagian kecil contoh yang menggambarkan betapa ‘liarnya' ide mereka. Penulis berani mengatakan idenya terlalu ‘keterlaluan’. Mengapa saya mengatakan ‘liar’ dan ‘keterlaluan’ ? Karena ide tersebut terlalu tidak biasa di Tanah Air. Yang disuguhkan di Indonesia adalah sinetron yang mengisahkan cerita yang sangat sederhana, acara musik yang tiba-tiba bertranformasi menjadi acara ‘drama’, reality show yang benar-benar menjadi sebuah ‘show’, dan masih banyak lagi.
Demand
Seperti yang penulis sebutkan diatas, kreatifitas Indonesia itu ada. Sayangnya tidak terlalu muncul ke permukaan. Mengapa? Opini saya, karena tidak ada modal yang memadai. Lihat berapa angka 0 yang ada di budget produksi untuk acara harian CSI (Rp.45.500.000.000/episode). Lihat berapa budget yang dihabiskan untuk membuat film yang dikenal di seluruh pelosok dunia, Fast & Furious. Bandingkan dengan film legendaris Indonesia, Laskar Pelangi, yang hanya sekitar 8 miliar.
Untuk siaran harian di televisi Indonesia, tidak perlu ditanyakan budgetnya berapa. Tidak akan membuat kita terkejut. Muncul pertanyaan, mengapa rumah produksi di Indonesia mendapatkan modal yang kecil dibandingkan dengan luar Negeri? Bukan karena investor tidak ada dana, tapi investor takut tidak break event(balik modal). Saya yakin Indonesia bisa menciptakan film berkualitas seperti Mission Impossible tapi saya tidak yakin publik ingin menikmatinya. Publik hanya ingin menikmati tontonan sederhana, yang tidak membuat mereka harus berpikir panjang. Penonton di Indonesia tidak mau yang rumit-rumit.
Penonton di Indonesia, hanya mau siaran yang ‘seadanya’. Kita hanya mau ‘drama’. Bahkan kebanyakan publik lebih menikmati DraKor (Drama Korea) karena alasan lebih kompleks. Apa buktinya? Buktinya adalah ketersediaan siaran di Indonesia sekarang. Saya percaya, siaran yang sering kita cela karena tidak mendidik, itu ada penikmatnya. Saya percaya, acara tersebut kian eksis, karena ada demand.