Mohon tunggu...
Bagas Candrakanta
Bagas Candrakanta Mohon Tunggu... Mahasiswa -

SMI - Sopan Mengelaborasi Ide

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Perkenalkan, Saya Minoritas yang Tertolong

26 Desember 2016   09:57 Diperbarui: 26 Desember 2016   10:21 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selamat Pagi. Nama lengkap saya Aloysius Bagas Candrakanta. Di hari yang bahagia bagi umat Kristiani ini, saya memutuskan untuk membuat akun Kompas untuk mendapatkan kesempatan menulis dan mengomentari tulisan-tulisan Kompasioner. Ini adalah tulisan saya yang kedua, setelah (tulisan sebelumnya).

Alasan saya akhirnya ‘berani’ bergabung dengan Kompasiana adalah kedoyanan beropini sehat yang mengandung kekritisan. Saya sering ngomong sendiri - seperti Ibu-ibu yang belum mendapat jatah bulanan - di kamar membahas apapun itu beritanya. Ya, saya adalah makhluk opini. Karena menyukai opini sehat, saya memutuskan bahwa Kompasiana adalah tempat yang tepat untuk berpendapat. Saya sudah lama membaca opini-opini dari Kompasioner. Tapi baru tergerak sekarang untuk mulai menciptakan opini sendiri. Hehehe.

Sesuai judul, saya adalah minoritas di Negeri ini. Saya memiliki double minoritas. Saya beragama Kristen Katholik dan warga keturanan etnis Tionghoa (Walaupun sedikit. Almarhum Papa saya asli orang Surabaya). Tapi beneran, saya lahir di Indonesia :D. Di ibukotanya lagi. Jadi penyandang status minoritas, gak selamanya merasa enak. Di kesempatan ini, saya akan berbagi bagaimana rasanya menjadi minoritas.

Saya akan menceritakan sebuah ilustrasi. Pernahkah kamu mendapat nilai kecil di kelas dan tidak ada lagi teman yang mendapatkan nilai sepertimu? Hanya kamu sendiri yang mendapatkan nilai kecil di kelas. Kita bahagia ketika kita berbagi, apapun itu,  sama orang lain. Kita senang ketika kita mendapatkan nilai kecil, dan ada teman kita yang mendapatkan nilai yang kecil pula. Benar, kan? Jadi sendiri, gak enak rasanya. Jadi minoritas, gak selamanya enak.

Risiko dan masalah utama bagi minoritas adalah, sudah pasti, kepercayaan diri (Self-Confidence). Minoritas merasa ‘kerdil’ sama mayoritas. Minor merasa lebih kecil dibandingkan mayor. Minoritas merasa malu dan tidak ada kebanggaan terhadap dirinya. Setidaknya itulah yang saya rasakan. Saya merasa sangat malu ketika berumur 12 tahun disaat kelas mau dimulai. Kok? Karena setiap kelas mau dimulai, selalu berdoa,  menurut ajaran Islam,  kecuali saya. Lagi-lagi, saya sendiri. 

Semua membaca Al-Quran, kecuali saya. Mungkin kalian bisa bilang, “berdoa aja menurut ajaran agamamu”. Percayalah, tidak sesederhana itu. Menjadi orang yang berbeda kegiatannya, itu kayak minum obat pahit China, yang kita rasain pahitnya dulu tapi berkhasiat nantinya. Saya juga pernah sendirian di kelas karena semua orang di kelas beribadah di Mushola jam 12 siang, kecuali saya. Lagi-lagi, saya sendiri. Kalian bisa mengatakan saya berlebihan, namun kenyataannya adalah saya ini beda. Ada momen dimana saya benar-benar enggan menyebutkan apa agama yang dianut karena takut dibedain.

Bahkan jika minoritas bisa mengubah waktu, bila ada mesin waktu, mereka akan memilih tidak dilahirkan sebagai minoritas. Mengapa? Karena kami ingin berbagi sesuatu dengan kalian. Karena kami ingin diterima di masyarakat, bukan hanya di keluarga. Karena kami nggak ingin beda. Percayalah, karena menjadi beda itu, yaa siapa yang mau. Kalau kalian memiliki teman yang ‘beda’, tapi memiliki kepercayaan yang baik, beliau sudah berdamai dengan dirinya sendiri. Benar, minoritas mendapatkan ‘bonus’ tantangan. They need to deal with themself first.

Penyandang minoritas yang belum berdamai dengan dirinya, itu sedih. Mereka malu ketika ingin ke Gereja, ada temannya yang melihat. Ciri-ciri orang seperti ini adalah mereka sangat senang bertemu dengan ‘sesamanya’. Mereka juga sangat kecewa jika artis/idolanya ternyata beragama lain. Sampai ada pemikiran kalo beda, itu pasti selalu salah. Menjadi minoritas yang belum berdamai dengan dirinya, itu repot.

Dan sekarang, saya tidak memikirkan hal itu lagi. Saya tidak peduli, tepatnya. Bahkan saya menjalani SMP, SMA, dan kuliah saya di Sekolah/Universitas Negeri. Semua orang tahu semua yang ada embel-embel “Negeri”, itu mayoritas beragam Islam. Saya tidak ada masalah. Pernah sih dulu waktu SMP ‘disemprot’, “eh, ngapain patung Yesus itu dipajang di Gereja? Pahlawan aja gak segitunya”. Yang saya syukuri adalah, saya nggak menanggapi dia :D .

Misalkan saya harus menyebutkan satu Negara yang memberikan perhatiannya untuk kaum minoritas, seperti saya, Indonesia akan saya ucapkan. Indonesia membantu untuk menyingkirkan “perasaan malu” dan “tidak ada kebanggaan”  milik saya. Bahkan, ada momen saya makan di sebuah restoran Buddha (bahkan ada Vihara di lantai dua) dan coba tebak lagu apa yang dipilih untuk menghibur orang-orang yang sedang makan? Lagunya Haddad Alwi “Rindu Muhammadku”. Bayangkan, Saya - yang bertampang seperti Koko-koko penjual handphone -  pernah dilayani ketika saya berkunjung ke Kecamatan Semendo, Muara Enim, Sumatera Selatan, yang mayoritas Islam taat. Guess what? We’re all one. 

Jika saya bertemu orang baru, saya akan mengatakan, “Halo. Nama kamu siapa?” bukan,”Halo. Sukumu apa?”. Kalau saya bertemu orang yang menanyakan sebuat alamat, saya akan mengatakan, “Dimana tempat tinggalmu?” bukan “Rasmu apa?”. Kalau saya bertemu wanita cantik nan aduhai bohai, saya akan mengatakan, “Hai, cantik. Sudah punya pacar?” bukan “Agamamu apa?”. Jika saya harus bertemu kalian semua, yang terucap adalah, “What are made of?” not “Who are you?”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun