Post-tradisi gereja (post-denominasi) memang berhadapan dengan banyak hal, salah satunya adalah konsumsi digital yang tidak lagi dapat dibendung. tidak heran bahwa pekabaran injil menemukan cara baru dalam mengabarkan Injil. Tetapi, di sisi lain konsumsi digital akan selalu mungkin sebagai cara untuk menggiring opini publik.
Ruang publik (terutama di sosmed) itu 'abu-abu' tidak ada yang benar-benar pasti di dalamnya, maka dari itu akan sangat mudah untuk mengiring opini ke 'hitam' maupun ke 'putih'. Di era konsumsi digital yang sangat luar biasa ini kita harus siap menerima kenyataan bahwa 'kebenaran' hanya sebatas tiruan, matinya kepakaran (tidak ada istilah 'ahli', karena setiap orang tanpa asal usul yang jelas bisa menjadi 'ahli' dengan narasi yang dibangun seolah-olah benar), dan tentu saja opini publik di era ini sangat mudah untuk digiring.
Hadirnya banyak konten digital mengenai Kekristenan menandai era baru misi penginjilan (tentu hal ini sangat baik) dan hal ini sangat berdampak luas (terlepas dampak positif maupun negatif). Kita tentu akan sangat sering menemukan konten-konten, quote, narasi-narasi yang berbau Kekristenan dari begitu banyak sumber.
Kekristenan tentu saja memerlukan ruang digital sebagai cara untuk mengabarkan kabar baik dan menjangkau banyak jiwa. Akan tetapi, di sisi lain tentu saja ancaman selalu ada, dengan banyaknya konten-konten yang tidak jelasnya sumbernya, ayat alkitab yang sembarang dikutip untuk mendukung narasi-narasi tertentu, renungan-renungan dengan kekeliruan tafsir, dan pengajaran-pengajaran tanpa arah yang jelas. Hal-hal ini tentu Membuat sebuah dilema tersendiri dan membuat kita harus mulai bergumul tentang hal ini.
Karena ruang publik sosial media itu 'abu-abu' tentu penikmatnya dapat terus digiring sesuai dengan keinginan kreator. Dan masalahnya kita tahu bahwa tidak semua kreator digital itu bijak dalam memanfaatkan kondisi ini, tentu ada beberapa yang menggunakan kondisi ini untuk kepentingan pribadi atau mungkin yang lebih buruknya menyebarkan ajaran sesat secara bertahap lewat karya-karya yang membawa nama Kekristenan agar terus dipercaya dan terus dikonsumsi lewat aktivitas digital.
Secara sederhana saya ingin menyampaikan bahwa ruang publik digital hari ini memang sangat baik untuk digunakan gereja post-tradisi untuk mengabarkan Injil. Akan tetapi kita juga perlu ingat bahwa ruang publik digital kita masih 'abu-abu' dan mungkin akan terus demikian, jangan biarkan konten-konten dan lain sebagainya yang tidak jelas sumber-sumber pengajarannya itu mengiring opini Anda sebagai jemaat dan juga imaji-beriman Anda sebagai anak Allah.
Kita harus menjadi lebih kritis dalam mengonsumsi konten-konten rohani, ingatlah bahwa tidak semua kreator digital itu bijaksana dan itu berarti ada banyak kemungkinan pengajaran-pengajaran yang keliru, menyesatkan, mengiring Anda pada maut, maka dari itu kita dituntut untuk selalu bijak, selalu berhikmat dan selalu memohon pertolongan Allah agar dibimbing menuju terang Kristus lewat hal-hal yang kita konsumsi di dunia digital.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H