Di usia dewasa, saya menghadapi persoalan ketika banyak orang mencibir mengingat usia yang semakin bertambah dan saya belum juga memiliki pacar, persoalan penyesuaian dengan mertua sesudah menikah, masa-masa "krisis ekonomi keluarga baru," dan sebagainya.
Secara tidak sengaja, ketika seorang teman menceritakan persoalan hidupnya kepada saya, saya mengucapkan kalimat yang sejujurnya adalah kalimat yang tidak saya pikirkan sebelumnya. Dengan enteng, saya merespon curhatan tersebut dengan kalimat, "Anggap aja kentut!"
Setelah kalimat itu saya ucapkan, saya baru menyadari bahwa ungkapan itu terlalu kasar. Apalagi, teman saya yang sedang curhat tadi mulai menangis. Tentunya, bukan menangis karena saya menggunakan kata "kentut," tetapi karena merasa bahwa persoalan "berat" yang diceritakannya seolah tidak saya respon. Dia sudah menyampaikan cerita tentang persoalan berat yang tidak sanggup lagi dia pikul, tetapi saya hanya menganggpnya "kentut."
"Kamu tahu kentut?" tanya saya kemudian, sambil mencoba berpikir dengan sangat keras, argumen apa yang bisa saya berikan agar dia tidak merasa diabaikan, apalagi ditertawakan. Dia teman saya, dan saya peduli dengan persoalan yang sedang ia hadapi.
Kentut itu keluar dari belakang. Artinya, setelah kita melewati sesuatu, setelah kita yakin bahwa semua persiapan sudah kita lakukan dengan baik, dia justru muncul. Kalau dia ada di depan, itu bukan persoalan. Itu tantangan! Kentut itu bauk dan buat orang normal, pasti akan mengganggu. Akan tetapi, seberapa bauk, itu ditentukan oleh kita, si pemilik hidung.Â
Kitalah yang memutuskan, apakah akan menutup hidung dengan sangat rapat hingga sesak napas, atau hanya sedikit, agar tetap bisa bernapas meskipun bau yang tidak sedap tetap terhirup. Atau mungkin memilih untuk tidak menutup hidung dan tetap berjalan dengan kepala tegak, berusaha menjadi teman akrab sang bau, meninggalkan ruangan yang bauk itu, atau pilihan-pilihan lainnya.
Persoalan itu ada untuk dihadapi. Ia bisa muncul dari orang lain, dari keadaan yang tidak kita duga, seperti bencana alam, atau bisa juga muncul justru dari diri kita sendiri. Entah itu karena kelalaian kita, karena ketidakpahaman kita menangani sesuatu, atau karena alasan lain. Dari mana pun sumbernya, persoalan tetap harus kita hadapi. Akan tetapi, ketika kita menemui jalan buntu, marah atau menangis pun tidak akan membuat masalah itu berkurang.Â
Persoalan itu, tentu saja bukan sengaja diciptakan dengan tujuan menyakiti siapapun. Ia datang sendiri, seperti halnya kentut yang keluar begitu saja, meskipun tidak dipanggil. Â Tidak ada orang yang merencanakan untuk terjerembab dalam persoalan, sekecil apapun. Juga, tidak ada orang normal yang akan menjerumuskan orang lain ke dalam persoalan, tanpa alasan.
Apapun sikap kita, bau kentut itu tidak akan lenyap. Ia hanya berpindah tempat, mengikuti arah angin. Dan pada saatnya, kita tidak akan bisa lagi membedakan mana bau kentut, mana bau parfum. Begitu juga persoalan. Apapun sikap kita, tidak akan membuat hidup kita jadi benar-benar terbebas dari persoalan. Ia hanya akan kita lewati dengan tingkat kepuasan yang berbeda-beda.Â
Ia akan seolah-olah menghilang karena tertutupi oleh persoalan-persoalan baru, atau terlupakan sejenak, tetapi tetap ada di sana dalam waktu yang cukup lama. Atau pilihan lainnya, kita justru menjadi akrab sehingga persoalan tidak lagi kita anggap sebagai persoalan, melainkan sebuah rutinitas hidup belaka.
Orang seringkali frustrasi ketika tidak dapat melihat titik terang dari pesoalan yang dihadapi. Segala cara yang sudah dicoba atau hendak dicoba, menemui kegagalan. Di sinilah keanehannya!