Buku adalah sebuah catatan panjang dari seorang penulis untuk disuguhkan kepada para pembaca. Catatan tersebut dapat berisi perjalanan pribadi, pengalaman yang menarik atau yang menyebalkan, hasil penelitian, hasil pengamatan, atau bahkan mungkin hasil dari sebuah karya imajinatif.
Tere Liye memulai Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin dengan latar sebuah toko buku. Novel ini menceritakan tentang perjalanan hidup seorang gadis bernama Tania bersama adik dan ibunya, serta seorang lelaki yang menjadi “malaikat” dalam kehidupan mereka. Petualangan hati Tania dimulai ketika “malaikat” itu hadir dalam kehidupan keluarga miskinnya. Rangkaian flash back yang dituturkan melalui tokoh Tania, dalam perenungannya di toko buku ini, berjalan dalam durasi tak lebih dari satu setengah jam.
Tere Liye memilih sebuah toko buku yang berisi sejumlah bacaan, sejumlah catatan perjalanan sebagai latar cerita ini, seolah ingin mengisyaratkan bahwa cerita ini adalah catatan perjalanan Tania secara fisik maupun psikis selama sepuluh tahun. Penuturan kisah bertahun-tahun tersebut “diekstrak” dalam alur flash back-nya di toko buku tersebut, yang berlangsung selama satu setengah jam saja.
Tempat itu memang menyimpan banyak kenangan bagi Tania, seperti diungkapkan dalam kalimat perenungannya,
“Toko buku ini penting. Selalu penting.
Toko buku ini menjadi penanda perjalanan epuluh tahun terakhir hidupku yang penuh warna.” (Liye, 2010:16).
Akan tetapi, tidak hanya itu. Tere Liye juga memanfaatkan fisik toko buku untuk membawa pikiran pembacanya kepada sebuah kondisi yang akan ditayang dalam jalinan cerita berikutnya. Seolah ingin mempersiapkan pikiran pembaca, Tere Liye mengajak kita “melihat” dari sebuah toko buku. Tidak hanya rak-raknya yang penuh dengan buku-buku yang tersusun rapi, tetapi juga tempat-tempat lain yang mampu dijangkau oleh tatapan mata Tania, yang ditayangkan melalui bingkai sebuah jendela. Melalui mata Tania, pembaca diajak melihat sejumlah realita kehidupan yang penuh warna. Dari jendela itu ia melihat kemesraan sepasng kekasih, juga kemarahan sejumlah pengguna jalan. Dari jendela itu ia melihat sejumlah remaja yang ketawa-ketiwi dan para pekerja yang terus bekerja di bawah guyuran hujan. Sejumlah paradoks yang kemudian akan kita temukan dalam pergulatan alam pikir sang tokoh.
Buku adalah jendela dunia. Melalui buku, kita dapat menjelajah ke negeri yang mustahil kita kunjungi sekalipun. Semisal negeri mimpi! Dan, novel ini memilih latar sebuah toko yang berisi tidak hanya sebuah buku, tetapi ratusan, bahkan mungkin ribuan buku! Inilah poin penting yang menjadi alasan kuat mengapa novel ini harus dimulai tidak di sebuah kamar yang sepi atau di sebuah mal yang penuh keramaian, tidak juga di jalan raya yang penuh dengan keriuhan, atau sebuah kelas yang dihiasi oleh keceriaan para remaja, melainkan sebuah toko buku!
Catatan:
Esai ini saya tulis untuk kegiatan pembelajaran SMA, Kelas XII. Ditulis berdasarkan sebuah novel karya Tere Liye, Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin,dengan rujukan Bab I “Pukul 20.00: Saat Semuanya Berawal” (halaman 7-23)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H