Mohon tunggu...
Bafadlol Muksit
Bafadlol Muksit Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, FISHUM, Prodi Ilmu komunikasi. "yen Abang yo sing mbranang, yen Putih yo sing Memplak"

Selanjutnya

Tutup

Money

Nasib Petani Gula Jawa "Kebumen" Perlu Diperhatikan

22 September 2012   09:44 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:00 486
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Menderes kelapa tentu bukanlah cita-cita dari kecil, namun pekerjaan ini bukanlah tidak baik atau dilarang. Apalagi hasil dari apa yang dikerjakan bermanfaat bagi orang lain. Mungkin di telinga kita sudah tidak asing lagi dengan nama “gula jawa” yang merupakan hasil akhir dari kegiatan menderes kelapa setelah melewati beberapa proses pengerjaan. Ya, gula jawa sering digunakan untuk bahan membuat makanan. Bahkan, tidak jarang gula jawa menjadi pemanis makanan yang paling banyak diminati.

Berjarak kurang lebih satu kilometer dari bibir Pantai Ambal, Kebumen. Tepatnya di Desa Kaibon. Masyarakatnya memang tidak bisa berharap banyak pada sektor pertanian. Karena kadar garamnya yang tinggi dan struktur tanahnya yang kurang baik untuk jenis tanaman tertentu, masyarakat sering mengalami gagal panen. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, sebagian warganya lebih memilih menjadi penderes kelapa. Namun, semakin berlalunya waktu dan kemajuan zaman yang diimbangi dengan kemajuan teknologi. Para pemuda di desa ini banyak yang mencoba keberuntungan mencari pengahasilan di kota – kota besar. Sebagian dari mereka merantau untuk menjadi buruh pabrik ataupun bangunan dan sedikit yang berusaha mandiri di wilayah mereka.

Oleh karena itu, penderes kelapa di desa ini semakin berkurang, bahkan bisa dihitung dengan jari. Saat saya berkunjung di desa itu, tinggal beberapa warga saja yang masih menekuni kegiatan tersebut. Saya bertemu dengan penderes kelapa bernama Pak Yatiran. Sekitar 18 tahun melakoni pekerjaan sebagai penderes kelapa, tentu dibutuhkan ketabahan yang kuat. “Tidak berat Mas. Karena sudah biasa…..” jawaban Pak Yatiran ketika saya menanyakan tentang pekerjaannya sebagai penderes kelapa.

Setiap pagi, ketika matahari memperlihatkan pancaran sinarnya bapak dari dua orang anak ini sudah bersiap untuk puluhan Pohon Kelapa dan dilanjutkan dengan menderes kelapa. Mengambil deresan kelapa barulah pekerjaan awal, karena masih harus diolah menjadi Gula jawa agar bisa dijual. Dari hasil deresan kelapa tersebut, biasanya oleh masyarakat disebut dengan istilah “Sajeng” kemudian disaring agar kotoran yang ada tidak masuk dalam tempat pembuatan gula. Setelah itu Sajeng dimasak kurang lebih dua jam. Memasak sajen bukan hanya asal memanaskan saja, karena dibutuhkan ketelitian. Bahkan ada filosofisnya, jika pikiran tidak tenang sajeng yang dimasak tidak akan jadi gula. Orang setempat biasa mengatakannya “Gula Gemblong”.

Selama proses memasak sajeng, akan terjadi proses mendidih selama dua kali. Mendidih yang pertama saat busa atau gelembung sajeng setelah dipanasi pecah atau “mbedah”. Sedangkan, untuk mendidih yang kedua saat sajeng mendidih seperti air yang sedang mendidih dan inilah yang disebut dengan “Legen”. Jika sudah mendidih untuk yang kedua kalinya, maka adukan harus dipercepat karena kalau tidak diaduk cepat, busanya akan meluber atau meluap. Anehnya ketika saya memperhatikan proses tersebut, Pak Yatiran memberi sedikit parudan kelapa. Katanya, itu trik khusus agar tidak meluber dan busa akan berangsur hilang.

Setelah diangkat dari tungku pemanas, proses selanjutnya adalah nitis atau proses mengubah / menjadikan legen menjadi Gula jawa. Legen dimasukan dalam cetakan yang terbuat dari batok kelapa. Dari cetakan tersebut, setelah memadat kemudian dilepaskan dari cetakan. Setelah itu, di buat berpasang- pasang dan dibalut dengan daun pisang yang sudah kering agar gula tidak mudah lengket. Barulah kemudian Gula jawa bisa dinikmati atau digunakan sebagai bahan untuk memasak.

Di daerah kebumen sendiri, Gula jawa memang sangat diminati. Namun karena jumlah penderes kelapa yang semakin berkurang jumlahnya dan lahan area yang sekarang mulai ditanami jenis tanaman lain. Masyarakat lebih suka memilih untuk menjual buah kelapanya saja daripada menderesnya. semakin jarang ditemui tempat – tempat pembuatan Gula jawa yang tradisional dan alami. Padahal jika dilihat prospeknya Gula jawa sangat bisa bersaing untuk kegiatan bisnis ataupun menjadi Home industry yang tidak memerlukan biaya yang mahal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun