Mohon tunggu...
Bafadlol Muksit
Bafadlol Muksit Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, FISHUM, Prodi Ilmu komunikasi. "yen Abang yo sing mbranang, yen Putih yo sing Memplak"

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Siung, Berwisata tanpa Alat Komunikasi dan Listrik PLN

24 Desember 2012   12:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:06 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_223637" align="aligncenter" width="300" caption="siung"][/caption]

“Bersusah – susah dahulu, Bersenang – senang kemudian.” Nampaknya, kalimat tersebut cocok untuk disematkan ketika kita berkunjung ke salah satu tempat wisata di Kabupaten Gunung Kidul. Berada di sebelah selatan Kecamatan Tepus atau berjarak sekitar 75 Km dari Kota Yogyakarta, tempatini menjadi salah satu obyek wisata yang masih terjaga kealamiannya. Banyaknya tempat wisata di daerah Kabupaten Gunung Kidul tidak membuat tempat ini kehilangan daya tariknya, justru tempat ini masih menyisahkan kearifan budaya lokal dan keindahan alami yang dibalut dengan sebuah panorama yang indah.

Adalah sebuah pantai yang masih terjaga kealamiannya oleh penduduk setempat dan masih sangat kental dengan nilai – nilai kebudayaan. Pantai yang bernamakan Pantai Siung ini, berasal dari sebuah kata “Kasihing Biyung” yang berarti atau diibaratkan sebuah cinta kasih seorang Ibu. Menurut mbah Ido selaku tokoh masyarakat di kawasan pantai tersebut, mengatakan bahwa pantai adalah sebuah simbol keibuan, sedangkan gunung adalah simbol kebapakan. Jadi nama siung tersebut juga sudah mencerminkan makna sebuah tempat yang memang konon sejarahnya masih kental dengan sebuah kerajaan Mataram.

Jika dilihat pantai ini memang tak seluas Pantai Parangtritis atau pantai lain di Yogyakarta. Namun, dibalik itu semua ternyata masih tersimpan banyak sekali keindahan alam dan obyek wisata disekitarnya yang memang oleh penduduk setempat masih dijaga atau dilestarikan kealamiannya. Menurut mbah Ido, “ membuka tempat wisata lagi itu mudah dan bisa-bisa saja, tapi nanti manusianya kebanyakan merusak jadi lebih baik disimpan dan biar alami saja. Namun jika ada orang atau komunitas yang ingin panjat tebing tersedia sekitar 250 area atau jalur panjat tebing,jumlah itu masih bisa ditambah lagi.” Dia menambahkan, pernah diadakan kompetisi panjat tebing yang bernama “Asian Climbing Gathering” pada sekitar tahun 90-an.

[caption id="attachment_223638" align="aligncenter" width="300" caption="doc. siung"]

13563514131676009221
13563514131676009221
[/caption]

Njoto Ing Siung

Ketika berjalan – jalan disekitar pantai saya menemukan sebuah kata ‘Njoto ing Siung’ setelah saya tanyakan ke mbah Ido ternya maksud dari kalimat ini adalah duduk di Siung. Artinya pengunjung yang datang di tempat ini bisa menikmati dan benar – benar merasakan kealamian Pantai Siung. Bahkan di tempat ini sengaja tidak ada Listrik dari PLN, yang ada hanya dari disel dan itu pun hanya malam hari. Televisi atau alat elektronik lainnya jarang ditemukan. Menurut sebagian warga hal ini dilakukan untuk menjadikan salah satu ciri khas dari Pantai Siung. Bahkan sinyal handphone pun lemah dan nyaris tidak ada. Menurut mbah ido, biar jelas kalau datang ke Siung untuk berwisata bukan untuk mainan Hp atau mengurusi hal lain.

Berdasarkan penjelasan hal tersebutlah yang membuat saya mengerti maksud dari kata ‘Njoto ing Siung’ duduk menikmati panorama yang indah dengan suasana yang alami dan masih terjaga dari hal – hal yang berbau modernisasi. Fasilitas lain yang bisa digunakan di tempat ini bagi pengunjung atau pun para pemanjat tebing adalah base camp berbentuk Rumah Panggung, cukup untuk sekitar 15 orang. Base camp ini menghadap ke pantai lansung, sehinngga menjadikan kenyamanan bagi pengunjung. Selain itu di sebelah Timur Pantai Siung juga terdapat Ground camp, disana bisa didirikan tenda – tenda untuk bermalam di Pantai Siung.

Selain itu pesona alam yang menonjol dari Pantai Siung adalah batu karangnya. Ketika surut akan Nampak jelas batu karang yang tersebar di sebelah barat dan timur pantai. Maka tidak jarang di pantai ini sering dijadikan sebagai lokasi foto pre-wedding, bahkan di warung tempat saya beristirahat di jadikan sebagai tempat pameran foto. Sebagian warga suing saat ini mempunyai pekerjaan sebagai Nelayan dan petani garam. Warga setempat pun tekesan Ramah – ramah, selama seharian saya menghabiskan waktu disana dari pagi sampai malam saya tidak menjumpai pengamen ataupun pengemis seperti pada pantai lainnya. Serta harga – harga makanan ataupun jajanan hampir semua sama dan sepertitidak ada persaingan penjual, sehingga suasana nyaman benar – benar saya nikmati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun