Dan sejak saat itu pula, aku jadi sering pulang malam. dan setiap malam itu pula, aku selalu habiskannya dengan menangis meratapi nasibku dan keadaan ibuku yang sudah sangat lemah itu. tapi aku tak mau ibuku tahu kalau aku menangis, aku tak mau ibuku tahu dari mana aku mendapatkan uang, dan ibuku tak boleh tahu kalau aku menjual diriku untuk memenhi biaya pengobatannya, makanya aku selalu berbohong dan tak pernah mau menangis dihadapannya.
Selama beberapa bulan kemudian, kehidupan kami pun tak berubah. Ibuku masih sakit-sakitan dan aku masihlah seorang pelacur binal murahan yang terus-terusan menjadikan perbuatan dosa ini sebagai jalan penghasilanku. Hari demi hari pun aku lalui dengan bekerja, bekerja, dan bekerja. Hingga suatu saat aku mengetahui, seorang janin sudah tumbuh selama dua bulan di dalam rahimku. Kejadian ini pun membuatku terkejut dan terpukul, hingga tanpa sadar aku pun memukul- mukul perutku dan mengucapkan kata-kata umpatan pada janin yang tak berdosa ini.
Aku sungguh merasa malu, sangat-sangat malu memiliki janin ini dalam rahimku, namun tetap, kenyataanya dia hanyalah janin kecil yang tak berdosa. Justru akulah yang berdosa dengan adanya kehadiran janin ini.
Karena rasa malu dan rasa iba ku kepada janin yang ku kandung ini, lalu aku pun berusaha kesana kemari mencari ayah anak ini dan memintanya untuk bertanggung jawab atas kehadiran janinku ini. namun bodohnya aku, mana ada orang yang mau mengakui dan memepertanggung jawabkan anak dari seorang pelacur. Justru yang aku dapatkan hanyalah hinaan dan cacian dari mereka. Dan ujung-ujungnya akulah yang tetap harus menanggung rasa malu ini sendiri.
Tuhan, apa yang harus aku perbuat? Apakah aku harus menggugurkan janin ini? tidak fikirku, janin ini tidaklah bersalah dia tak perlu mati hanya karena rasa malu yang kurasa karena perbuatanku. Tapi apakah aku harus membiarkan dia lahir? Apa kataku? Membiarkan dia lahir dan hidup dalam derita dan hinaan orang -orang karena dosa dan kesalahan yang kulakukan sebagai ibunya? Tidak, aku tak mau anakku menanggung derita dan hinaan karena kesalahanku. Lalu apa yang harus aku perbuat… apakah aku harus mati bersama bayi ini agar rasa malu ku dan penderitaan anak ini akan berakhir sekarang juga?. Ya… fikiran gilaku pun berkata ini adalah jalan yang terbaik untuk mengakhiri ini semua. Lalu bagaimana dengan nasib ibuku? Siapa yang akan mengurusi ibuku jika aku mati? “tuhan… apa harus aku perbuat?”.
Aku pun tak tahu lagi dengan apa yang aku rasakan saat itu, yang jelas fikiran-fikiran ini terasa seperti menggerogoti kewarasanku secara perlahan. Dan akhirnya ide gila itu pun muncul dari dalam otakku. Yah aku memang sudah menjadi gila saat itu juga.
Malam itu aku menukar salah satu pil obat ibuku itu dengan pil berisi racun yang aku beli dari seseorang. Lalu aku berikan pil itu pada ibuku yang lemah dan tak tahu apa-apa itu. dan setelah beberapa saat kemudian, kini ia pun sudah bersandar tak bernyawa dalam pelukan eratku. Aku kini memelukmu, membelai rambutmu. Mengusap kening mu sambil menceritakan segala kepedihan, kesusahan, kesedihan dan derita yang cukup lama aku sembunyikan darimu.
Maafkan aku yang tidak bisa menceritakan semuanya kepadamu, maafkan aku yang sudah berbohong padamu dan maafkan aku yang sudah membunuhmu yang tak tahu apa-apa itu ibu. Maafkan aku telah melakukan semua ini. Namun setidaknya, penderitaan kita didunia ini telahlah usai, tak akan ada lagi kesedihan yang kita rasa, ibu tak usah merasa kesepian disana, karna aku akan tetap selalu berada disisimu.
Dengan sangat berat, aku pun melepaskan pelukan eratku itu pada ibuku. Dan membiarkannya berbaring tergeletak diatas tempat tidur. Setelah itu aku pun mengambil pil racun yang aku berikan pada ibuku, dan tanpa rasa ragu lagi aku pun langsung meminumnya, tak lama kemudian, aku pun tergeletak lemah, kesadaranku pun mulai menghilang perlahan-lahan, mataku berkunang-kunang. Namun aku berusaha bangkit dan merangkak mendekati jenazah ibuku yang telah tergeletak. dan dengan terasa berat, tanganku pun berusaha memeluk kepalanya dan bibirku pun mengecup keningnya untuk yang terakhir kali, sebelum napas terakhirku berhembus dan menutup mataku untuk selamanya.
Subang 25 Juni 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H