Mohon tunggu...
Badruz Zaman
Badruz Zaman Mohon Tunggu... Konsultan - Engineer

Karyawan swasta di bidang engineering

Selanjutnya

Tutup

Tradisi

Mboke

16 Mei 2022   22:15 Diperbarui: 16 Mei 2022   22:39 509
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tradisi. Sumber ilustrasi: UNSPLASH

"Mbok, enek duit Rp100,- gawe numpak bus...?" Sambil mengambil dompet yang terselip di jariknya beliau mengatakan "Ora enek Lee..". Begitulah sepenggal kenangan percakapan saya dulu dengan nenek.

Mbok itu adalah ibu dalam bahasa jawa, tapi kami sebagai cucunya  menyebut beliau juga sebagai Mbok . Saya tidak tahu kenapa nenek dipanggil dengan mbok. Ada yang mengatakan kalau mbok itu maksudnya harus bisa nomboki. Yaitu selalu bisa memberikan solusi terutama kepada cucu-cucunya. Seperti percakapan saya dengan mbok di atas ketika duit saya tidak cukup untuk berangkat ke sekolah naik bus.

Barangkali sebutan mbok juga ada hubungannya dengan nenek yang sudah menjanda di usia muda. Mbok menjanda dikarenakan Mbah Kakung meninggal dalam sejarah kelam bangsa ini di tahun 1960an. Di usianya yang sangat muda itu, mbok harus berjuang sendiri. Menjadi seorang Ibu dari 8 putra dan putrinya. 

Dalam kenangan saya, Mbok itu seperti pada umumnya nenek-nenek di jamannya. Tidak ada yang spesial dari baju yang dipakainya. Biasanya atasan berupa baju batik motif jawa dan bawahannya berapa jarik diikat pakai centhing. Centhing itu fungsinya mirip sabuk dari bahan kain kasar yang mengikat perut. Orang perempuan jaman dulu selalu pakai itu sehingga perutnya selalu slim. Beda dengan jaman sekarang, yang hanya pakai centhing setelah bersalin saja. 

Kehidupan Mbok itu keras dan penuh dengan perjuangan. Untuk menghidupi 8 anaknya, Mbok harus membanting tulang. Setiap pagi, mbok merawat kebun di belakang rumah. Membersihkan dan membakar dedaunan yang sudah membumbung tinggi. Pelepah daun kelapa (blarak) yang jatuh dan mengering itu dikumpulkan, dipotong daunya dan diikat seukuran genggaman dua tangan menggunakan tali dari pelepah kulitnya itu. Kemudian dipikul sampai rumah dan di taruh di atas plafon gazebo. Saya tidak tahu apa istilahnya, tapi rumah Mbok itu ada rumah inti yang ada kamar tidur dan ruang tamunya. Kemudian ada dapur besar untuk bisa digunakan memasak satu kampung. Nah, di antara rumah inti dan dapur itu ada bangunan kecil sebagai penyebrangan jalan dan biasanya digunakan untuk ngobol santai. Di tempat itu juga digunakan sebagai tempat parkir sepeda onthel. Di bumbung atas, dipasang bambu dan kayu untuk menopang blarak itu. Selain untuk kebutuhan sendiri, tetangga yang memerlukannya bisa membeli. Maklum, pada saat itu, alat dapur utama masih pakai kayu dan blarak adalah alat pembakaran terbaik. Sekali berkobar, wusss... apinya akan terus membakar tumpukan kayu dan ranting-ranting di atas tungku. Kadang kala, blarak-blarak itu menumpuk lama dan akhirnya repuh. Mbok biasanya menarik tumpukan blarak itu dan mulailah manarik satu persatu lidi dari dahannya mengunakan pisau lama yang sudah berkarat. Satu-persatu lidi itu dikumpulkan dan diikat dalam rajutan sapu lidi yang bisa digunapakai sendiri atau dijual. 

Selain pohon kelapa yang menjadi handalan mbok untuk menghidupi anak-anaknya, ada banyak lagi tanaman musiman di belakang rumah. Ada durian berbagai varian yang biasa berbuah di musim hujan. Musim durian adalah momen terbaik waktu saya kecil. Waktu subuh ketika matahari belum muncul adalah waktu terbaik mencari durian. Kita mendeteksi adanya durian itu dari baunya yang menyengat. Di kegelapan subuh itu, kita menyisir rerumputan tinggi untuk mencari durian yang jatuh semalam. Semangat kami adalah siapa yang menemukan durian terlebih dahulu akan dikasih bonus Rp100,- dari mbok. Juga ada kesempatan merasakan nikmatnya durian jika buahnya sudah pecah atau ada si codot telah menggerogoti raja buah itu.  Ada banyak lagi pohon yang bisa menghidupi mbok dan 8 anaknya seperti pohon sukun, bambu, petai, dan berbagai pohon buah-buahan.

Saya pernah tanya kepada mbok, siapa yang nanam semua pohon-pohon itu? Mbok menjawab "mbahmu le". Sambil menatap langit, mbok bercerita kalau mbahkung menanam pohon-pohon itu ketika usianya sudah tidak muda lagi. Mbok juga pernah bertanya kepada mbahkung kenapa menanam pohon yang hasilnya kemungkinan tidak akan beliau bisa nikmati seperti pohon kelapa yang harus menunggu minimal 10 tahun. Mbahkung menjawab " Aku tanam pohon-pohon ini untuk bisa dinikmati anak adn cucu-cucuku". Sesak rasa di dada ini. Mbok dan mbahkung yang hidupnya keras, tidak pernah memikirkan hidupnya sendiri. Hidupnya dihabiskan untuk kebaikan anak dan cucu-cucunya.

Untuk Mbok dan Mbahkakung, Alfatihah. Semoga cucumu ini bisa meniru kebiakan yang telah engkau tanam dan menyebarkannya kepada semua manusia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Tradisi Selengkapnya
Lihat Tradisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun