”Dasar! anak kurang ajar! Setiap hari kerjamu nggak ada yang bener ! Hidupmu hanya kau gunakan untuk berfoya-foya. Pulang ke rumah pagi-pagi, tidur sampai siang. Bangun, keluar tak tahu arah. Sampai larut malam di diskotik. Apa sih maumu ?!”. Kata-kata itu meluncur deras ke arah Salman, setelah pipinya menerima tamparan tangan ayahnya.
Salman yang dalam keadaan mabuk berat langsung menuju kamarnya dan tertidur pulas. Dia tak menghiraukan sama sekali ucapan-ayahnya. Tak terasaa sama sekali tamparan yang diberikan ayahnya tadi. Seluruh tubuhnya dikuasai oleh efek minuman-minuman keras dan berbagai macam narkotika yang sejak 3 bulan lalu telah nenbuatnya kecanduan.
Salman, anak pertama seorang direktur perusahaan ini mengisi hari-harinya dengan berfoya-foya, balapan liar, dan mabuk-mabukan. Dia sama sekali tak mengenal peraturan, norma, maupun agama. Yang dia tahu, hanyalah harta melimpah dan kesenang-kesenang semata. “Hidup kaya, buat apa susah ? Mari berfoya-foya !”. Begitu dalam benaknya. Orangtuanya telah lelah marah-marah dan menghukumnya. Ulahnya membuat mereka berdua hampir putus asa. Mereka tak tahu cara apa lagi untuk mengatasi kelakuannya.
Esoknya, kakek Salman datang ke rumahnya. Beliau sebelumnya sering diberi kabar oleh orang tua Salman tentang kenakalannya. Karena itulah beliau datang. Beliau tak ingin kerusakan cucunya bertambah parah. Walaupun bukan seorang tokoh pemuka agama, tetapi spiritualitas kakek Salman telah jauh kedalamannya. Berbagai masalah ataupun musibah dalam hidup sudah kenyang dirasakan. Beliau selalu tenang menghadapi setiap badai kehidupan. “Aziz dan Sabrina, bawalah anak kalian itu ke sebuah pondok di balik bukit Arjuna. Tempat yang sangat jauh dari keramaian. Tak bisa dijamah oleh kehidupan mewah, hanya berupa pedalaman. Semua sumber kehidupan berasal dari alam. Di sana ada seorang kyai yang akan menjadi pembimbing spiritual Salman. Jangan ragu ! Dan yakinlah Salman pasti bisa berubah. Jauh lebih baik dari keadaannya sekarang. Jika kalian telah membawanya ke sana. Jangan pernah kunjungi Salman hingga Salman hingga dia sendiri yang kembali pada kalian”. Begitulah pesan Mbah Munir, kakek tersayang Salman, setelah makan siang bersama kedua orangtuanya.
Pagi baru mulai, ketika Salman baru pulang dari diskotik dalam keadaan tergeletak di dalam kamarnya. Orangtua Salman beserta Mbah Munir membawa Salman dan sebagian pakaiannya dalam keadaan tak sadar menuju bukit Arjuna. Selama 5 jam lebih mereka menempuh perjalanan, Salman masih belum bangun dari tidur pulasnya. Dan ketika mereka sampai pada tempat yang ditunjuk oleh Mbah Munir, mereka turun. Mereka menemui Sang Kyai pemilik pondok, Kyai Syukur. Mereka bersilaturrahmi dan berbincang-bincang dengan Kyai Syukur. Kemudian mereka mengambil pakaian-pakaian milik Salman dan menaruhnya di salah satu kamar dekat Musholla pondok tersebut. Salman yang masih tertidur pulas, digotong begitu saja menuju kamar barunya. Setelah itu, mereka berpamitan dan menitipkan Salman sepenuhnya pada Kyai Syukur. Sementara Salman yang berada di dalam kamar barunya tiba-tiba terbangun. Dia bingung dan belum kenal sama sekali dengan tempat tersebut. Dia terus melihat-lihat sekeliling. Tak lama, terdengar suara mobil. Maka Salman keluar dan melihat mobil itu. Ternyata keluarganya baru saja meninggalkannya. “Papa ! Mama! kalian tinggalkan aku di sini ? Apa maksudnya ?!”. Demikian keras suara jeritan Salman. Lambaian tangan dan tetesan air mata seorang ibu sebagai ucapan perpisahan.
Tiba-tiba Salman terkejut. Sebuah sinar yang menyilaukan menghampiri matanya dan terbang menuju makam ayah Kyai Syukur yang berada di sebelah selatan Musholla. Salman pun terlupa dengan keluarganya yang baru saja meninggalkannya. Lalu dia berjalan lemas menuju kamar barunya. Dia memikirkan apa yang terjadi dengannya ? Mengapa dia berada di pondok ini ? Apa sebab orang tua meninggalkannya di tempat yang belum pernah ditinggalinya ? Dan apa maksud sinar yang menuju makam tersebut ? Beberapa saat kemudian, Kyai Syukur mendatanginya. Beliau mulai mengajaknya berkenalan dan berbicara ringan. Keramahan senyum dari keilkhlasan hati dari Sang Kyai membuat Salman cepat akrab dengan kyai yang selalu berjubah putih ini.
Setiap hari, Kyai Syukur selalu membimbingnya. Mengajari segala hal yang bernilai ibadah. Mulai dari bangun tidur hingga menjemput tidur. Mulai dari tata cara bersuci hingga praktek belajar mengaji. Karena seringnya Salman bersama kyai, membuatnya seolah-olah adalah santri kesayangan Kyai Syukur. Santri-santri lain tidak iri. Karena mereka sudah mengerti dan memahami. Mereka pun ke sini juga untuk mendapatkan kemantapan hati. Santri di pondok ini jumlahnya sedikit, hanya 40 orang. Tetapi kebersamaan mereka menjadikan sebuah pondok seperti sebuah keluarga besar. Tak jarang mereka membantu dan menuntun Salman menjalankan bermacam-macam aktivitas, terutama beribadah. Mulai cara beristinja’(cebok) hingga mandi besar dengan benar. Tata cara sholat, dan semua yang berkenaan dengan itu, tak lupa praktek beserta doa. Mereka juga tak merasa lelah atau bosan untuk menuntun Salman. Karena mereka tahu bagaimana latar belakang Salman. Sebelumnya, Kyai Syukur telah memberitahukan tentang itu pada santri-santrinya
Awalnya, Salman terlihat seperti orang yang baru masuk Islam. Tapi memang benar, dia baru belajar menjadi seorang muslim. Salman adalah remaja yang cerdas. Dia cepat bisa dan paham jika diberi pelajaran atau diajari sesuatu. Perkembangan demi perkembangan makin meningkat pada dirinya. Salman perlahan-lahan bisa menjalankan sendiri aktivitas dan kegiatannya, terutama dalam ibadah. Dia juga sudah mulai lancar membaca lafadz-lafadz arab, terutama membaca Al-Qur’an. Yang dia pelajari bukan hanya tulisannya saja, tapi juga arti dan maknanya. Bukan hanya ilmu dhahir yang di pelajari, ilmu bathin juga mulai dipelajari. Tiga bulan telah berlalu. Kini, Salman sudah bisa seperti layaknya santri-santri lain, bahkan bisa dikatakan lebih dari mereka.
Jam setengah satu malam pada awal pekan bulan keempat, Salman duduk merenung di depan makam Kyai Abu Syukur, ayah dari Kyai Syukur. Dia membaca dzikir sambil merenungi segala hal atas umur-umur yang telah dia habiskan. Air mata mulai mengalir dari kedua matanya. Penyesalan yang teramat dia rasakan. “Ya Allah Yang Maha Pengampun, hamba sangat bersyukur atas nikmat-nikmat yang telah Engkau beri pada hamba. Masa lalu hamba yang sangat gelap hanya bisa hamba sesali. Kini, hamba hanya bisa menangis dan merintih. Dosa-dosa yang membanjiri diri ini, sanggupkah Kau ampuni ? Aku hanyalah hamba yang lemah, tak memiliki apa-apa. Di hadapanmu, hamba bukanlah apa-apa. Tapi, hamba punya keyakinan, bahwa Engkau adalah Tuhan Yang Maha Memberi rahmat dan Memberi ampunan bagi siapa saja yang telah berdosa dan telah berusaha kembali ke jalanmu. Umur ini, juga adalah kepunyaanmu. Engaku berkenan mengambilnya kapan saja Engkau mau. Dan jika ini adalah umur terakhirku, hamba tidak bisa mengelak kehendakMu. Hanya akhir yang indah hamba harapkan Yaa Robbal aalamiin”.
Salman menutup doanya, dan ketika itu pula dia menutup kehidupannya di dunia. Tiba-tiba Salman batuk darah beberapa kali dan menghembuskan nafas terakhirnya dalam keadaaan duduk tertunduk persis di depan batu nisan makam Kyai Abu Syukur. Aku yang datang dan melihatnya, banjir oleh air mata.
eL-f@qir_eS-Salam