Mohon tunggu...
M. Badrus Sholeh
M. Badrus Sholeh Mohon Tunggu... -

Pemerhati Wacana

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Terorisme: Wajah Lain Gerakan Fundamentalis Agama? [1]

19 Desember 2010   16:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:35 943
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

M. Badrus Sholeh

Seputar Gerakan Fundamentalis Agama; Pelacakan Sebuah Eksistensi

Satu fenomena yang tergolong menarik dan mengejutkan, yang muncul di akhir abad ke‑20 adalah kemunculan apa yang disebut sebagai gerakan fundamentalis dalam tradisi keagamaan dunia,[2] yang menurut pendapat kalangan Barat –khususnya bagi kalangan yang berada di luar gerakan tersebut-- terekspresikan melalui beragam aktifitas yang berbau kekerasan dan anarkisme yang cukup mengerikan.[3] Bahkan pada akhirnya gerakan kaum fundamentalis –dalam kaca mata pandang out sider gerakan tersebut-- selalu identik dengan kekerasan, teror dan intimidasi, yang dilakukan atas nama Tuhan dan agama. Begitu pula sebaliknya, setiap bentuk kekerasan, intimidasi maupun aksi-aksi terorisme yang terjadi di berbagai belahan dunia, lantas selalu direlasikan dengan gerakan fundamentalis agama.[4]

Kemunculan fenomena fundamentalisme --yang sering pula disebut sebagai gerakan kebangkitan agama‑‑ ini benar‑benar menarik. Sebab pada pertengahan abad ke‑20, mencuat anggapan umum bahwa sekularisme merupakan sebuah keniscayaan dan -‑bahkan‑‑ faktor agama dipandang tidak lagi memiliki peran penting dalam peristiwa‑peristiwa besar dunia. Aksiomanya adalah bila manusia menjadi lebih rasional, maka mereka tidak akan membutuhkan lagi agama, atau setidaknya mereka akan menjadikan agama sebagai sesuatu yang pribadi serta memasukkannya ke dalam wilayah kehidupan privat.[5]

Namun anggapan di atas berbalik, ketika pada akhir tahun 1970‑an, kaum fundamentalis mulai bangkit untuk melawan hegemoni kaum sekuler. Kaum fundamentalis berusaha mengembalikan posisi agama –dalam berbagai dimensi kehidupan-- yang termarginalkan, ke posisinya semula yang sentral.[6] Usaha ini tampaknya berhasil dan pada akhirnya menjadi tonggak bangkitnya kembali gerakan fundamentalis yang sebelumnya pernah terpinggirkan. Walhasil, fundamentalisme kini menjadi salah satu instrumen penting dalam laju peradaban modern, yang berperan bukan hanya sebagai figuran belaka, tapi juga memiliki peran signifikan dalam gerak dinamika kehidupan manusia.

Realitas yang memposisikan fundamentalisme sebagai salah satu “anak kandung” yang terlahir dari rahim peradaban itulah yang kemudian menempatkannya sebagai objek yang menarik untuk dikaji dan dicermati. Ada sebagian yang memandang fundamentalisme secara sinis, dengan mengemukakan pendapat bahwa kehadiran gerakan fundamentalis dalam ranah keagamaan bisa manjadi ancaman serius bagi konfigurasi kehidupan, di mana mayoritas para pemikir yang memiliki pendapat demikian, melakukan generalisasi dengan memberikan stigma bahwa semua fundamentalisme di dunia ini merupakan ‘makhluk’ menakutkan, yang memiliki varian gerakan konservatif, jumud, anti kemajuan, serta selalu menjadi faktor penghalang utama bagi akselerasi modernitas dan gerak dinamika kehidupan di muka bumi ini, yang akan menjadikan peradaban manusia berjalan ditempat atau bahkan mengalami kemunduran.[7] Ada pula kalangan yang memandang fundamentalisme dengan “lensa mata” yang arif serta objektif, yang berpendapat bahwa kehadiran gerakan fundamentalisme merupakan fenomena yang positif sepanjang kehadirannya tidak diimplementasikan dalam aksi-aksi kekerasan, anarkisme, lebih‑lebih aksi terorisme. Kalangan ini tidak mengidentifikasikan gerakan fundamentalisme sebagai gerakan yang menjadi agen kekerasan, atau menjadi gerbong aksi‑aksi terorisme, ataupun menjadi faktor yang berpotensi menjadi penghalang -‑apalagi ancaman-‑ bagi akselerasi peradaban. Justru sebaliknya, memandang bahwa fundamentalisme merupakan bumbu pelengkap dan salah satu kontributor yang memiliki peran cukup signifikan bagi upaya‑upaya kemajuan peradaban. Dalam perspektif kalangan ini, bangkitnya kembali gerakan fundamentalisme hanya merupakan ekspresi ‘kegerahan’ sebagian kalangan terhadap ‘cuaca’ modernisasi yang kering dari nilai‑nilai religiusitas. Sehingga dapat dibaca bahwa gerakan kaum fundamentalis tak lebih dari sekedar upaya untuk memasukkan kembali nilai‑nilai agama dalam kehidupan manusia dan menghadirkannya sebagai salah satu ruh yang mengiringi proses modernisasi.

Fundamentalisme Agama dan Teror ‘Berwajah’ Agama; Mengurai Benang Merah

Gerakan fundamentalis agama, seringkali dikait-kaitkan –bahkan diidentikkan-- dengan aksi-aksi teror, anarkhisme ataupun kejadian-kejadian –brutal-- berujung penghilangan nyawa lainnya. Fatalnya lagi, pengkaitan itu lantas juga berujung pada asumsi bahwa tindakan kekerasan itu di benarkan oleh ajaran agama yang bersangkutan. Namun ronisnya, penstigmaan itu –terkadang-- tidak berdasar atas satu bukti kuat, melainkan hanya tarikan kesimpulan berdasar –fakta- agama yang dianut oleh pelaku teror.[8]

Pendapat di atas, sepintas memang terlihat terlalu berlebihan, walaupun juga tidak terlalu bisa dipersalahkan sepenuhnya. Sebab, walaupun –secara langsung-- tidak menganjurkan kepada pemeluknya untuk berbuat kekerasan dan teror, beberapa doktrin dalam agama –terkadang—juga memiliki kandungan spiritual, yang bisa diinterpretasikan sepihak oleh pemeluknya sebagai legitimator dan pembenar aksi-aksi teror tersebut. Karenanya dapat disimpulkan, bahwa pada titik ini keterkaitan agama --ataupun gerakan-gerakan yang mengusung semangat-semangat agama—dengan terorisme, mutlak berkaitan dengan interpretasi –yang lantas menjadi spirit-ideologi--.[9]

Selain itu, pemisahan sama sekali antara agama dan pemeluknya –yang kebetulan berbuat teror— dan menempatkannya pada dua entitas yang berdiametral –seakan-akan satu perbuatan teror murni atas inisiatif pelaku, dan sama sekali tidak terkait dengan agama--, tentu juga bukan langkah yang tepat, dan cenderung ‘satu bentuk’ cuci tangan serta pengingkaran atas fakta bahwa kehidupan dan perilaku nyata pemeluk satu agama, sejatinya tidak terlepas dari aspek etis-normatif ajaran agama yang dianutnya.

Maka, mengurai keterkaitan agama –termasuk di dalamnya gerakan fundamentalis agama-- dengan tindakan-tindakan teror, memang terasa sangat problematis. Sebab di satu, agama –apapun—adalah satu entitas yang suci, sakral, bersih, damai dan lain sebagainya, yang memiliki personifikasi agung dan terhormat. Sementara di sisi yang lain, terorisme adalah tindakan sadis, kejam, kotor dan aneka personifikasi negatif lainnya, yang mestinya tidak layak bersanding dengan agama. Namun demikian, sepahit apapun kenyataan itu, mestinya tidak lantas menjadi dasar untuk tidak menyangkutkan agama dalam perihal seputar terorisme, ketika relasi itu secara faktual ada, dan memiliki ‘benang merah’ yang bersimpul.

[1] Sekedar catatan untuk kegiatan eL-Kaf Surabaya, tanggal 30 Desember 2009

[2] Menurut Karen Armstrong, fundamentalisme tidak hanya terdapat pada agama monoteisme -baca; Islam, Kristen, Yahudi‑ melainkan juga terdapat dalam agama Hindu, Buddha dan bahkan agama Kong Hu Chu, yang sama‑sama menolak butir‑butir budaya liberal, melakukan kekerasan atas nama agama‑maupun membawa sakralitas agama ke dalam wilayah politik dan negara. Lihat, Karen Armstrong, Berperang Demi Tuhan; Fundamentalisme Dalam Islam, Kristen Dan Yahudi, Terj. Satrio Wahono, dkk. (Bandung & Jakarta: Mizan & Serambi Ilmu Semesta, 2000), hlm. x.

[3] Beberapa peristiwa mengerikan yang dilakukan oleh sekelompok orang yang mengatas namakan agama diantaranya adalah peristiwa bunuh diri massal yang dilakukan oleh para pengikut David Koresh pada tahun 1993di Waco, Texas, Amerika Serikat. Peristiwa lain adalah pembantaian terhadap para dokter yang bersedia membantu Aborsi, yang terjadi di Arkansas dan Alabama. Peristiwa tersebut dilakukan oleh kaum fundamentalis sebagai bentuk protes terhadap undang‑undang yang memberikan legalitas terhadap praktek aborsi. Dalam perspektif kaum ini, undang‑undang tersebut adalah bentuk eksplisit perlawanan terhadap Tuhan, yang ajaran‑Nya -‑seharusnya‑- dilaksanakan secara murni. Selain itu, gerakan fundamentalisme tercatat juga berhasil meruntuhkan rezim Syah Muhammad Reza Pahlevi di Iran melalui revolusi pada tahun 1978‑1979, yang dipimpin oleh Ayatullah Khomeini, seorang tokoh agama yang sebelumnya tidak begitu dikenal. Lihat, Ibid., hlm. 426.

[4] Kenyataan ini tampak dengan jelas diperlihatkan oleh Amerika Serikat dalam menyikapi peristiwa terorisme yang terjadi pada tanggal 11 September 2001 silam. Amerika menuduh bahwa pelaku peledakan gedung World Trade Center (WTC) dan markas pertahanan –Pentagon— tersebut adalah kelompok Muslim Fundamentalis, yang terorganisir dalam jaringan al-Qaeda pimpinan Osama bin Laden. Sikap ini kemudian diwujudkan oleh Amerika Serikat dengan melakukan penyerangan terhadap Afghanistan yang sedang dikuasai oleh rezim Thaliban –yang nota bene adalah kelompok Muslim Fundamentalis--, karena dianggap terkait dan memberikan perlindungan kepada Osama bin Laden dan jaringan al-Qaeda. Ribut Karyono, Fundamentalisme Dalam Kristen-Islam (Yogyakarta: Kalika, 2003), hlm. xliv. Dalam masalah ini, Bassam Tibi, sebagaimana dikutip oleh Abdurrahman Kasdi, menyatakan bahwa fundamentalisme merupakan sebuah gejala ideologi yang muncul sebagai respon atas problem-problem globalisasi, fragmentasi dan benturan antar peradaban. Namun dalam perjalanan selanjutnya, agitasi fundamentalisme mengakibatkan kekacauan, bukan hanya di dunia Islam, melainkan di seluruh dunia. Dari sini dapat dimaklumi, bila pemaknaan istilah fundamentalisme dalam realitas telah mengalami distorsi makna, cenderung menjadi istilah yang bias, pejoratif dan sering digunakan dalam konotasi makna yang cenderung ke arah negatif. Dari sini pula kemudian muncul kesan bahwa gerakan fundamentalisme memiliki kecenderungan berwatak ekstrimis, fanatik atau bahkan teroris dalam mewujudkan dan mempertahankan keyakinan keagamaannya. Selain itu, mereka yang disebut kaum fundamentalis sering pula dikonotasikan sebagai tidak rasional, tidak moderat dan memiliki kecenderungan untuk melakukan tindak-tindak kekerasan. Lihat, Abdurrahman Kasdi, “Fundamentalisme Islam Timur Tengah; Akar Teologi, Kritik Wacana dan Politisasi Agama”, Tashwirul Afkar, XIII, 2002, hlm. 20-21.

[5] Karen Armstrong, Berperang Demi Tuhan..., hlm. x.

[6] Menurut Azyumardi Azra, istilah fundamentalisme –khususnya dalam dunia Islam—mulai populer di kalangan Barat seiring dengan meletusnya Revolusi Islam Iran pada 1979. Setelah revolusi tersebut, istilah fundamentalisme sering kali digunakan untuk menggeneralisasi berbagai gerakan Islam yang muncul dalam gelombang yang disebut sebagai “kebangkitan Islam”. Lihat, Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam; Dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post-Modernisme (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm. 107.

[7] Muhammad Imarah, Fundamentalisme Dalam Perspektif Pemikiran Barat dan Islam, terj. Abdul Hayyi al-Kattani(Jakarta: Gema Insani Press, 1999), hlm. Pengantar Penerbit.

[8] Hal ini nampak pada kejadian pengebomanWTC di Amerika Serikat. Pasca kejadian tersebut, George W. Bush lantas menyebutnya sebagai the crusade war, atas sebuah fakta bahwa pelaku teror itu adalah pemeluk agama Islam. Hal ini lantas menjadi pemicu munculnya opini bahwa Islam mengajarkan kekerasan dan teror kepada pemeluknya, dan merupakan sarang dari para teoris. Tak pelak, hal ini lantas memunculkan kegelisahan di kalangan agamawan –khususnya di Indonesia, yang mayoritas penduduknya adalah muslim--.

[9] Menurut Munawir Aziz, penafsiran secara literal –dan tanpa melihat konteks-- dan parsial terhadap ayat-ayat agama, seringkali menjadi salah satu spirit munculnya teror-teror agama. Lihat, http://www.gp-ansor.org/opini/mengakhiri-jejak-terorisme-indonesia.html

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun