Sebenarnya sudah sangat lama, ingin berteriak soal ini, sejak saya melihat lelaki tua yang mengamen sambil membawa kecapi di jalanan beberapa bulan yang lalu. Saya berfikir bahwa, kita sebagai bangsa semakin gagap menghadapi modernitas, sehingga rasa akan luhurnya budaya bangsa ini semakin terpinggirkan, bahkan perlahan kita akan menjadi bangsa yang lupa akar kemanusiaan kita, dimana kita lahir, dan bagaimana proses perjalanan sejarah bangsa ini terbentuk.
Sebagai bangsa memang kita tidak boleh menutup diri dari kebudayaan bangsa lain, karena pada hakekatnya manusia diciptakan berbeda-beda supaya saling mengenal, menghormati dan menghargai. Namun kita juga tidak bijak, bila kita lupa akar bangsa sendiri, dimana akar-akar itulah yang menyokong integritas kebhinekaan kita, Indonesia. Masih tergiang, bahwa bangsa ini merupakan bangsa yang sopan, santun, tepa selira, gotong royong, rukun dan berbagai semboyan hidup lainnya, tetapi apa yang kita saksikan hari ini; SARA, kekerasan, kriminalitas, tawuran antar pelajar, korupsi dan penyakit sosial lainnya, semua seakan  menjadi bom waktu. Berbagai degradasi sosial tersebut tidaklah terlepas dari tercerabutnya bangsa ini dari akar kebudayaannya, dan lebih memilih menyerap berbagai faham dan kebudayaan luar yang cenderung destruktif.
Tercerabutnya akar kebudayaan kita tidak terlepas dari keacuan kita sebagai bangsa, belum ada langkah kongkrit untuk menjaga dan melestarikannya. Bahkan negara (pemerintah) dengan berbagai kelembagaannya, terkesan hanya menjadikan kebudayaan sebagai komoditas (barang dagangan), kalau suatu kebudayaan itu tidak bernilai ekonomi, maka dilupakan begitu saja.
Kebudayaan daerah dan Televisi
Kebudayaan daerah merupakan berbagai aspek kehidupan masyarakat diberbagai daerah di indonesia, setiap daerah memiliki ciri khas kebudayaan yang berbeda. Beberapa jenis kebudayaan daerah seperti: rumah adat, upacara adat, tarian, lagu, musik, seni gambar, seni patung, pakaian adat, seni suara, seni sastra, makanan, film.
Kita semua menyadari, begitu kayanya kebudayaan bangsa ini, bahkan seringkali kita melihat orang-orang luar begitu serius belajar dan menikmati berbagai macam kebudayaan kita. Sayangnya kita sendiri, mulai mati rasa, dan mencibir bahwa kebudayaan kita kuno dan tidak modernis, padahal sebuah kebudayaan itu terlepas dari fase-fase zaman, selama terus dan mampu memberikan nilai positif bagi kemanusiaan.
Lalu keterkaitan apa antara kebudayaan daerah dan televisi?, televisi sebagai media elektronik memiliki fungsi media informasi, hiburan dan pendidikan. Sejarah pertelevisian Indonesia dimulai tahun 1962 dengan berdirinya TVRI (Televisi Republik Indonesia). TVRI beroperasi sebagai stasiun televisi tunggal, hingga tahun 1989 dikeluarkanya keputusan menteri penerangan RI Nomor: 190A/Kep/Menpen/1987 tentang siaran saluran terbatas, yang membuka peluang saluran TV swasta, dan pada tanggal 24 Agustus 1989 diawali dengan mengudaranya RCTI dan disusul SCTV (24/8/90), TPI (23/01/1991). ANTV (07/03/1993), Indosiar (11/01/1995), MetroTV (25/11/2000), TransTV (25/11/2001), Lativi (17/01/2002) selain itu juga muncul pula global TV, Trans7 dan lain-lain. (slideshare.net, Universit Of Andalas).
Dalam hal kebijakan pertelevisian, sejak berdirinya tahun 1962 hingga dibukanya ijin untuk TV swasta, nampaknya masih belum memberikan perhatian serius kepada keberadaan dan pelestarian kebudayaan daerah. Â Dengan membuat kebijakan khusus soal materi siaran terkait untuk kebudayaan daerah, dimana seluruh televisi yang ada harus berkontribusi aktif terkait pelestarian kebudayaan daerah dengan memberikan ruang yang lebih, minimal 30 % dari total waktu penyiaran, mengingat pentingnya keberadaan kebudayaan daerah guna menyokong kebudayaan nasional sebagai pemersatu bangsa, karena pada hakekatnya kebudayaan nasional merupakan puncak dari kebudayaan daerah.
Kalau hal ini tidak diatur khusus dalam kebijakan pemerintah, maka televisi hanya akan menjadi alat komoditas kapitalisme, dimana dia hanya akan menayangkan materi-materi pesanan pemodal yang cenderung mengimitasi kebudayaan luar yang dianggap lebih modern dan beradab. Padahal kalau kita lihat, banyak materi-materi yang kurang mendidik untuk kelangsungan kehidupan bangsa kedepan. Bangsa ini harus dikembalikan kepada jati dirinya, dengan mengenal kebudayaanya sendiri, bukan selalu dipaksa mengimitasi kebudayaan kebudayaan asing yang belum jelas asal usulnya. Semoga pemerintahan bapak Jokowi, dengan prinsip Trimurti (Berdikari dalam ekonomi, Berdaulat dalam politik dan Bermartabat dalam kebudayaan) memiliki pandangan dan kebijakan revolutif terkait hal ini, kita bukanlah bangsa pembeo, kita memiliki jatidiri sendiri sebagai bangsa. Wallahu a’lam bissawab[]
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI