Mohon tunggu...
Badrul Arifin
Badrul Arifin Mohon Tunggu... Guru - Santri

Belajar

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

New Normal dan New Problem Pesantren

5 Juni 2020   07:56 Diperbarui: 5 Juni 2020   17:00 429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada dekade terakhir, secara kuantitas, jumlah pesantren meningkat sangat signifikan. Data statistik menunjukan, jumlah pesantren di Indonesia tidak kurang dari 28.000 pesantren, dengan jumlah santri lebih dari empat juta jiwa. Di Kabupaten Malang sendiri, yang tercatat di Kementerian Agama, terdapat lebih dari 600 pesantren. Gondanglegi menjadi kecamatan tertinggi dengan jumlah 101 pesantren. Desa Ganjaran yang merupakan tempat saya lahir beberapa tahun lalu mendapat julukan sebagai “Desa Santri” karena di desa ini terdapat lebih dari 20 pesantren. Tentu ini bukan jumlah yang sedikit bukan?.

Terlepas dari itu, PWNU Jawa Timur menyerahkan sepenuhnya pada masing-masing pemangku pesantren, antara memperpanjang belajar santri di rumah atau memilih opsi mengembalikan santri ke pesantren dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan. Oleh karena pesantren dirasa masih terkatung-katung dengan kebijakan New Normal, pesantren yang menghendaki santri kembali ke pondok, harus membuat surat resmi berupa edaran atau maklumat sebagai pijakan tertulis saat proses kedatangan santri maupun saat santri sudah tinggal di pesantren.

Pada perkembanganya, Pemda Jatim mencanangkan “Pesantren Tangguh” dengan mengadopsi “Kampung Tangguh” yang sudah dilaksanakan di Malang Raya saat PSBB beberapa waktu yang lalu sebagai role model. Selain itu, formulasi New Normal khusus di lingkungan pesantren, masih dalam tahap finalisasi setelah melakukan beberapa pertemuan dengan para kiai. Kabupaten Malang sendiri akan menyiapkan alat rapid test bagi pesantren yang akan mengembalikan para santrinya. Berbagai jenis bantuan juga sedang disiapkan oleh Daerah Tingkat (Dati) I, maupun Dati tingkat II.

Namun, semua itu belum dapat menjawab problematika pemberlakuan New Normal  di pesantren, oleh karena satu alasan, yaitu; physical distancing. Pada intinnya, problem itu bukan terletak hanya pada saat teknis santri proses pengembalian santri, lebih dari itu, bagaimana cara memberlakukan New Normal saat semua santri melaksanakan berbagai macam aktifitas saat berada di pesantren tanpa ada sedikitpun celah pengecualian dalam memberlakukan physical distancing.

Terlepas dari semua itu, pesantren masih memiliki problem internal. Karena secara garis besar, ada dua tipologi pesantren. Pertama, pesantren yang semua kegiatan dan agenda akademiknya berpedoman pada kalender hijriyah, biasanya ini diberlakukan pada pesantren salaf. Kedua, Pesantren yang mengikuti kalender formal atau pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama, yang biasanya ini diberlakukan bagi pesantren yang memiliki pendidikan formal atau pesantren modern. Kedua tipologi pesantren ini, sama-sama meiliki problem yang berbeda. Pesantren salaf, yang mematok 15 Syawal sebagai tanggal kembalinya santri, harus mempersiapkan seperangkat rencana dan sarana dalam melaksanakan New Normal di lingkungan pesantren. Kemudian, pesantren yang berpijak pada kelender pendidikan formal, secara praktis harus menunda santri kembali ke pesantren sampai pertengahan bulan juli mendatang. Sebab sampai saat ini, Kementerian Agama dan Kementrian Pendidikan terus memperpanjang pemberlakukan belajar secara daring. Oleh karenanya, pesantren harus mempersiapkan media pendukung untuk melaksanakan aktifitas tersebut. Jika tidak, santri akan merasa jenuh karena waktu kosong pada jam sekolah di pesantren.

Pertanyaanya, sampai kapan New Normal ini akan menjadi New Problem bagi pesantren?. Tentu yang dapat menjawab pertanyaan itu adalah regulasi khusus dengan formuliasi yang brilian dari pemerintah dengan berpedoman pada aspirasi para santri dan kiai. Nah, ini layak kita tunggu. Jangan sampai, regulasi itu menjadi sebuah distorsi tidak rasional  yang dianggap “radikal” bagi kaum sarungan.

Pesantren tidak bisa dianggap sebelah mata, karena pesantren menjadi salah satu pilar penting yang sangat berjasa pada negara, mulai sebelum merdeka sampai saat ini, pesantren menjadi yang terdepan dalam mendidik karakter bangsa. []

img-20200325-wa0040-5ed99b36097f3621fc7842f2.jpg
img-20200325-wa0040-5ed99b36097f3621fc7842f2.jpg
img-20200330-wa0043-5ed999bbd541df78e3364aa5.jpg
img-20200330-wa0043-5ed999bbd541df78e3364aa5.jpg

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun