Idris Pasaribu
Begitu panggung dimulai, Â terdengar musik Tuizt. Kemudian seorang lelaki tua berambut putih masuk sambil menari. Â Tari rock and roll dengan musik Twist. Lincah dan masih sangat energik. Â Namun sejurus kemudian pinggangnya ngilu, Â kakinya langsung berdenyut. Â Tetapi lelaki itu terus saja berusaha berjoget.Semenit kemudian musik pun usai. Â Lelaki berkostum celana jeans, Â t shert dengan tulisan studio kosambi dan kemeja putih itu pun mulai berkisah tentang seorang perempuan 55 tahun yang lalu bernana Suharti.
"Ini kisah 55 tahun yang lalu.  Tentang seorang perempuan bernama Suharti.  Bukan Suharto. Walau kedua-duanya memiliki  senyum yang manis. "
Begitulah kata lelaki itu dalam dialog pembukaannya. Kata-kata itu disebutkan dengan tekanan yang ambiguitas. Â Sepertinya penonton ingin dibertahu bahwa ada korelasi antara Suharto dan Suharti, Â walaupun penonton disuruh memaknainya sendiri.
Lelaki ini bernama Udin. Â Cerita dibangun semasa mereka masih sekolah SMA. Â Udin menyukai Suharti. Â Dia menyatakan cintanya dengan menyelipkan surat di buku yang pura-pura dia pinjam. Namun cintanya tidak bertepuk sebelah tangan. Â Suharti dengan malu-malu menerima cinta Udin. Seorang siswa yang pintar dan juara kelas.
Monolog ini semacam flasback. Udin yang kini sudah tua, Â bercerita tentang kisah cintanya dengan Suharti. Â Namun cinta itu harus kandas lantaran pecah peristiwa G30S PKI. Â Suharti tiba-tiba menghilang. Diceritakan sang tokoh Udin, Â Suharti adalah anak Ketua Soksi di tahun 1965.
Kemudian mereka terpisah. Â Udin sempat mencari-cari kekasihnya itu, Â namun tak jumpa. Â Iapun kemudian kawin dengan perempuan lain. Â Namun suatu hari yang tak disangka-sangka, saat Udin duduk di satu taman di seonggok batu, Â seorang perempuan mendatanginya. Â Perempuan itu buta sebelah, seperti matanya pernah dicongkel dan kakinya pengkor lantaran dipatahkan.
Pertemuan itu dibangun sedemikian mengharukan oleh Idris Pasaribu yang juga merangkap sebagai sutradara sekaligus mengakhiri monolog yang berdurasi 30 menit itu.
Adegan yang juga memberikan kenangan buruk pada masa suram seperti itu adalah saat Udin mengenalkan Suharti pada ayahnya. Â Suharti harus menelan pil pahit bahwa dirinya tidak bisa diterima sebagai calon menantu lantaran dituding sebagai anak seorang yang terlibat gerakan melawan pemerintah.
Enak Ditonton Namun Nanggung
Monolog yang dimainkan Idris Pasaribu ini enak ditonton. Idris piawai dalam mengungkap narasi demi narasi. Â Namun sayangnya masih terasa nanggung. Â Alhasil, Â joke-joke yang dibangunnya tidak berhasil membuat penonton tertawa. Â Coba seandainya Idris sadar ruang sedikit saja dan mengajak penonton untuk terlibat dalam pementasan itu mungkin jadinya akan lain.