Sebuah pertunjukan monolog kembali digelar Bengkel Monolog Medan. Seperti biasa pertunjukan yang kali ini dilakukan oleh Agus Susilo dari Teater Rumah Mata, disajikan pada Selasa (9/4/2019) malam dengan judul "Adminus Harus Jadi Presiden". Seharusnya pukul 20.00 WIB. Tetapi akhirnya baru dimulai pukul 20.30 WIB. Itu dilakulan lantaran masih sepi penonton.
Situasi ini yang kemudian disoroti seniman Teja Purnama. Mengapa pihak Taman Budaya Sumut tidak punya perhatian terhadap kegiatan yang sudah berjalan menuju tahun ke 2 ini. Tidak satupun dari pejabat TBSU datang untuk melihat kegiatan yang telah mengikutsertakan pihaknya itu.Â
Keresahan Teja Purnama ini juga menyangkut pemonolog lainnya yang juga tak kelihatan di bangku penonton. Padahal pemonolog terdahulu ada aktor aktor semisal Burhan Polka, Buyung Bizard, Razak Nasution, Bunda Jibril, bahkan selain mereka juga aktifis teater juga banyak, semisal Yondik Tanto, Suyadi San dan Yan Amarni Lubis, Handono Hadi bahkan Wan Hidayati. Namun tak ada yang bersedia datang menonton pertunjukan yang gratis ini.
Kondisi perteateran yang tanpa penonton ini rasanya sangat disayangkan. Porman Wilson sendiri mengaku sudah menjapri secara pribadi pribadi melalui chatingan Whatt shap. Namun begitulah kondisi perteateran kita. Maka tak lebih penonton yang hadir sekitar 20 orang saja.
Sementara ada belasan kelompok teater yang kini tengah hidup dan mulai bersemangat di Medan. Sebut saja Teater Nasional, Teater Imago, Teater Merdeka, Teater Blok, Delic'k Teater Team, Teater Generasi, Teater O, Medan Teater, D, Lengkers Teater, Teater Sinergi, Teater Siklus dan beberapa teater lagi yang penulis lupa mengingatnya.
Ini saja, jika setiap kelompok mengirim 5 anggotanya untuk nonton, maka ada 50 orang lebih yang akan memadati gedung Sanggar Tari di TBSU itu. Jika setiap orang berdonasi sekitar rata rata Rp50 ribu saja, maka ada uang Rp2,5 juta untuk Agus. Uang ini bisa digunakan untuk keberangkatannya ke Madura memenuhi satu hajatan teater di sana. Agus akan membawakan monolog ini ke sana.
Agus Susilo bisa dikatakan menyuguhkan pertunjukan yang berbeda dari pertunjukan-pertunjukan monolog sebelumnya. Agus lebih menyorot pada realita sosial yang absurd. Realisnya adalah ketika seorang ayah yang hidup dari memulung bermimpi anaknya harus menjadi presiden.Â
Namun realita itu disuguhkan Agus dengan cara yang absurd atau surialis. Sebab hidup ini kata Agus di sesi diskusi memang seperti itu. Antara mimpi dan kenyataan nyaris tak ada batasnya. Di Indonesia ini hidup seperti mimpi dan mimpi seperti hidup. Hayalan dan kenyataan juga tipis bedanya.
Kita sebagai penonton terkadang kebingungan juga menghadapinya. Akhirnya menonton pertujukan monolog yang awalnya diangkat dari sebuah pertunjukan teater itu, kita harus tak boleh cerewet untuk memaknai sebuah realitas dan absurditas itu. Di Adminus Harus Jadi Presiden, penonton harus puas dengan akting Agus yang memukau selama sekitar 30 menit itu.
Pertanyaan pertanyaan setelah menonton pertunjukan ini pun keluar dengan begitu saja. Misalnya mengapa ada keinginan seorang ayah lumpuh yang kerjanya memulung nenginginkan anaknya untuk menjadi presiden? Apakah mimpi ini sudah tidak lagi tabu di negeri ini? Apakah ini juga ada kaitannya dengan Jokowi yang menjadi presiden walau dirinya lahir dari kalangan rakyat jelata. Memang tak ada bacaan tentang itu, di panggung.
Ayah Adminus memimpikan itu. Anaknya harus menjadi presiden. Bagaimana caranya? Minus harus sekolah. Tetapi Minus menilai ayahnya gila. Â Agus tidak terlalu terang dalam menampilkan setiap adegan. Sehingga hubungan sebab akibat dalam cerita menjadi kabur. Apakah sosok adminus itu ada atau hanya hayalan dari sosok lumpuh yang berambut panjang dengan wajah selalu menakutkan itu?