Saya dendiri sebagai penonton agak kebingungan dalam membaca teks teks yang disuguhkan Agus dalam pertunjukan itu. Maka dengan nakalnya pikiran saya mengembara. Alangkah menariknya jika ternyata, Minus yang diimpikan untuk menjadi presiden itu hadir dalam sosok seekor Anjing.
Begitulah Agus memulai pertunjukan ini dengan santai. Pukul 19.00 WIB, Agus masih terlihat duduk duduk bersama calon penonton di depan pintu masuk Sanggar Tari.
Rupanya memang dia memulai pertunjukannya dari luar gedung. Saya tidak melihat aksinya di luar sana. Tetapi dari seorang penanggap diketahui, Agus, sudah mengesot ngesot mengumpulkan sampah seperti cup cup minuman dan botol.
Kemudian dia masuk ke gedung pertunjukan yang dibalik. Panggung menjadi area penonton. Semula Agus menginginkan agar gedung tidak diberi kursi tetapi Porman sebagai pihak penyelenggara tidak bersedia. Alhasil penonton yang di panggung sepertinya terlalu tinggi.
Ada suara seperti terompa dihentak kelantai, itulah saat seorang tokoh yang berjalan dengan kedua tangannya mulai memasuki ruangan pertunjukan. Suara itu memang magis dan mampu menyihir penonton yang juga dikolaborasi dengan suara senandung dari suara penyair Yunus Tampubolon. Sosok itu menjadi sangat artistik dengan kostum karung goni dan keranjang sayur.
Setting dibangun meninggi dan berakhir dengan sebuah kain pel yang tergantung. Disitulah Agus bermain. Meski secara teater realitas nyaris tak ada alasan mengapa dia harus menaiki level itu ke atas. Sepertinya Agus hanya ingin bermain main dengan simbol dimana kain pel menjadi alat untuk membersihkan segala debu dan noda di lantai rumah dan kantoran.
Begitulah. Dia terus berdialog sambil menaiki level demi level dengan kondisinya yang lumpuh. Di tangannya dia menggenggam martil. Ada tiga atau empatkali dia memukul kakinya yang lumpuh dengan martil itu sekuatnya. Memang kita merasa ngilu menyaksikan adegan itu. Apakah Agus melakukannya dengan tehnik atau memang memukulnya dengan keras.
Sesekali dia juga memukulnya ke level dengan sangat keras sehingga menimbulkan efek bunyi yang mampu menusuk telinga dan mengejutkan. Barangkali Agus ingin menyadarkan kita yang terkadang suka terlena, hanyut dalam kesepian di tengah keramaian. Atau menonton pertunjukan tetapi juga melakukan chatingan dengan pasangan atau urusan.
Ya sudahlah, meski dengan lighting apa adanya dan setting yang mungkin tidak terdanai pihak penyelenggara, monolog itu berhasil memukau penonton. Kemudian dilanjutkan dengan diskusi.
Teaterawan Akbar, menilai Agus harus lebih mendudukkan pertunjukannya. Apakah realis atau surealis. Menurut Akbar sebagaimana Mumun, ini penting untuk pembelajaran bagi teaterawan di Sumut yang butuh banyak membuat panggung panggung teater yang kemudian didiskusikan.
Akbar juga menuntut agar Agus memberikan bacaan yang valid tentang keberadaan setting dan tubuh aktor. Agar antara keduanya bisa dibaca penonton dengan baik. Apakah setting menunjukkan sebuah tempat tinggal keseharian si tokoh atau hanya tempat mampir. Atau hanya imaginasi si tokoh. Menurut Akbar ini harus jelas.