Film Wonder Kids karya sutradara M. Sofiyarno dan "Mauliate" karya sutradara Ghaly B merupakan film yang menjadi 10 besar dalam Festival Film Pendek yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Sumatra Utara (DKSU) baru-baru ini.
Film Wonder Kids merupakan film dokumenter sedangkan film Mauliate film cerita yang berlatar belakang Budaya Batak Toba Samosir.
Kedua film ini sengaja diangkat pada pemutaran film perdana acara Nonton Bareng dan Diskusi yang diselenggarakan Kofita Medan yang digagas, Ayub Badrin, Porman Wilson dan Onny Krisnawan.
Direncanakan terus berlanjut setiap bulannya dan diharapkan menjadi ajang tontonan masyarakat luas guna membangkitkan gairah perfilman di Medan sebagaimana pernah melegenda. Bahwa Medan pernah sempat mempunyai Studio Film di Sunggal di masa Gubernur EWP Tambunan itu bukan isapan jempol semata. Jika sekarang punah, ini sungguh sangat menyakitkan.
Bayangkan bagaimana Sofi membuat film Wonder Kids yang berkisah tentang kehidupan Meran Antonius Situmorang, seorang pemain bola cilik yang kariernya sudah mendunia lantaran sudah main hingga ke Korea ini hanya dengan HP dan SLR Cannon 1200 D.
Semangat seperti ini mestinya didukung dengan peralatan yang canggih yang mestinya dimiliki Pemerintah di sini, agar potensi besar dari sineas muda di Kota Medan dapat tercover. Sebab kota-kota lain seperti Bandung dan Makasar sudah punya film karya sinessnya sendiri. Sementara Sumatra Utara sering hanya jadi penonton saat orang Jakarta membuat film di sini yang terkadang dananya malah dari pemerintah daerah setempat. Duh!
Film "Wonderkid" sebuah film dokumenter tentang seorang anak yang diajari ayahnya menjadi pesepak bola yang berprestasi di kalangan anak-anak. Meran Situmorang terakhir diundang ASIFA, sebuah lembaga sepak bola di Korea karena kemampuan dan prestasinya. Film tersebut dibuat selama setahun. Gambarnya memang tidak begitu "bersih". Tapi empati yang ingin digambarkan sudah cukup memberikan keberhasilan.
Film "Mauliate" mengekplor beberapa dialog dengan dialek Batak Toba pada bagian-bagian masa lalu seorang adik dengan kakaknya yang diceritakan simpulnya dengan pembacaan satu puisi di sekolah. Si adik dengan mengingat kakaknya yang sudah meninggal karena penyakit tertentu merasa bersyukur dengan kehidupannya yang berbeda.
Syuting film ini menurut pengakuan salah satu pemerannya, Gynee, dilakukan selama lima hari di beberapa lokasi (Holbung, Tele, air terjun Efrata, Bukit Beta Tuktuk dan Medan) dengan teknik eksperimen juga. Namun tim untuk film itu kelihatannya memiliki perhatian terhadap potensi warna lokal dan kultur di Sumatera Utara. Salah satu film mereka yang diikutkan dalam festival mengangkat warna lokal Jawa dan tidak kebetulan disinggung oleh salah satu juri, Dokter Dahnil, yang hadir dalam kesempatan itu sekaligus dengan promosi desain 8 seri film yang mengangkat super-hero seperti Satria Dewa Gatot Kaca, yang baru saja dilaunching di Jakarta.