“Suka dengan berita politik dan sepak bola” Itulah kalimat yang tertulis pada profil akun kompasiana saya. Sejatinya saya memang suka dengan kedua hal itu, berita politik dan sepak bola. Jika ditanya kenapa saya suka kedua hal itu? Saya sendiri tidak tahu. Entahlah.
Soal politik, mungkin karena dari kecil saya suka mendengarkan Warta Berita dari Radio Republik Indonesia (RRI). Pada tahun 70 – 80 an, televisi masih sangat jarang di kampung saya. Satu-satunya hiburan bagi saya saat itu adalah Radio Transistor bermerk Philip. Alharhum bapak saya rupanya sangat fanatik dengan merk yang satu ini. “Radio Pilip itu suaranya bening” kata beliau suatu saat.
Bagi saya radio bukan hanya sekadar hiburan untuk mendengarkan lagu-lagu di acara Musik Pelepas Lelah (MPL) atau Lagu Pilihan Kita atau Pilihan Pendengar. Tetapi saya sangat suka dengan siaran Warta Berita. Saat duduk di kelas VI SD tahun 79-80, saya sampai hafal nama perdana menteri beberapa negara. Saya juga sapai hafal nama-nama gubernur tiap propinsi di Indonesia saat itu. Bagaimana tidak hafal wong setia hari mendengarkan Warta Berita.
Selain suka mendengarkan Warta Berita dari RRI, saya juga suka membaca koran Kompas. Kenapa Kompas? Saya tidak tahu persis, namun mungkin di kampung saya saat itu memang hanya ada koran Kompas. Dan lagian koran yang saya baca itu adalah koran bekas yang sudah tidak lengkap lagi lebarannya. Jika almarhum bapak saya membeli sesuatu, entah makanan kue kering atau pakaian biasanya dibungkus koran. Jika bungkusan itu dibuka, maka saya segera mengambil koran bekas itu untuk dibaca. Kita semua tahu koran Kompas itu isinya seperti apa. Kebanyakan isinya ya berita. Berita politk. Apa karena dua kebiasaan itu yang membua saya jadi senang dengan dunia dan berita politik? Wallahu’alam Bishawab.
Bagaimana dengan kegemarannya dengan tontonan sepak bola? Kalau ini lebih mudah dipahami. Sebagai anak kampung, siapa yang tidak suka sepak bola? Mungkin ada, tapi sedikit 1 diantara 100. Jadi sebagian besar anak kampung pasti suka bermain sepak bola. Di halaman rumah, di jalanan, di pinggir kali atau di mana ada tanah sedikit lapang, maka di situlah anak-anak kampung bermain sepak bola. Pada saat itu, lapangan sepak bola masih jarang. Jika suka bermain sepak bola maka pastinya suka juga menonton pertandingan sepak bola. Karena itulah saya berani menuliskan kalimat, “Suka dengan berita politik dan sepak bola”.
Namun seiring perjalanan, seusai hiruk pikuk pemilihan presiden (Pilpres) 2014 lalu, ada rasa kebosanan atau apa namanya. Yang jelas, saya merasa tidak tertarik lagi dengan berita-berita tetang politik. Biasanya saya suka menonton MetroTV, belakangan beralih ke RCTI. Biasanya saya senang nonton Metro Sore, Metro Hari ini, Mata Najwa dan sejenisnya. Belakangan saya lebih senang nonton Preman Pensiun, Tukang Ojek Pengkolah, Pendekar Rajawali dan Tukang Bubur Naik Haji.
Jika sebelumnya saya senang menonton bagaimana para politisi dan pakar hukum berdebat. Sekarang saya lebih suka nonton Kang Bahar dengan wejangan-wejangannya. Kang Mus dengan strategi-strategi kepemimpinannya. Kang Tisna, Ojak, Mas Pur dan Babeh Naim dengan kesehariannya. Juga Pendekar Rajawali dan Satria dengan jurus-jurus mautnya. Tentu tak kalah menarik adalah Haji dua kali Muhidin dengan kesombongannya. (Ini tentu sebagai pengingat agar kita tidak melakukannya). Muka tembok si Kardun, juga Kirno, Rojik, mang Damin dan yang lainnya. Bagi saya mereka ini lebih menghibur dari pada “sandiwara” yang dimainkan para politisi dan pakar hukum yang sering kali memang tidak lucu.
Kecintaan saya terhadap sepak bola mulai luntur ketika Menpora asal PKB yang asli Madura, Imam Nahrawi turut campur dengan membekukan PSSI. Kemudian yang berakibat PSSI disanksi FIFA dan Indonesia tidak boleh tampil di event sepak bola internasional. Walau beralasan ini dan itu, demi perbaikan sepak bola Indonesia dan sebagainya. Termasuk alasan utama katanya memberantas mafia bola yang ada di PSSI. Bagi saya alasan itu tidak menarik. Karena yang jelas Indonesia tidak bisa tampil di laga Internasional.
Setelah mendapat laporan dari sana sini, termasuk dari anak buahnya Menpora, presiden Jokowi menyampaikan sikap. Semua itu demi peningkatan sepak bola Indonesia katanya. “Prestasi kita dari tahun ke tahun tidak ada kemajuan. Peringkat kita juga turun, bahkan di bawah Timor Lest” kata Jokowi.
Pertanyaanya, bagaimana Indonesia mau naik peringat wong tidak pernah bertanding di ajang internasional karena kena sanksi?
Sejak saat itulah saya sudah tidak ada interes lagi dengan sepak bola Indonesia, bahkan sepak bola internasional. Karena kalau nonton sepak bola luar negeri, saya jadi teringat sepak bola dalam negeri. Ujung-ujungnya menghayal, “Kapan sepak bola Indonesia bisa maju seperti luar negeri”. Sebuah khayalan yang sulit menjadi kenyataan.
Begitulah alasan kenapa saya belakangan tidak begitu interes lagi dengan dua hal yang tadinya sangat-sangat menarik. Kecewa, putus asa, menyesal? Entahlah. Namun, ketika politik dan sepak bola tidak lagi menarik, masih banyak hal lain yang bisa saya jadikan hobi atau daya tarik yang baru. Mancing misalnya, asal jangan mancing konde. Atau mungkin fotografi? Nah ini baru menarik.