Mohon tunggu...
Badiyo
Badiyo Mohon Tunggu... Jurnalis - Blogger, Content Creator

Seneng baca dan suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Masih Perlukah Etika, Sopan dan Santun?

17 Maret 2015   12:29 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:32 335
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berawal dari perseteruan antara Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaya Purnama atau Ahok dengan DPRD DKI terkait anggaran Pemda DKI tahun 2015. Ahok menuduh DPRD menyelipkan anggaran siluman yang nilainya tak sedikit, 12,1 T. Ahok berang, DPRD pun tak terima tuduhan itu. Ketika perseteruan semakin memanas, pihak Kemendagri pun turun tangan.

Setelah melakukan pertemuan dengan kedua belah pihak secara terpisah, Kemendagri mempertemukan keduanya tanggal 5 Maret 2015 lalu. Tujuannya adalah untuk mencari titik temu dan kesepakatan. Dalam mediasi tersebut, Sekjen Kemendagri, Yuswandi A. Tumenggung bertindak sebagai mediator.

Sayang pertemuan tersebut menemui jalan buntu setelah tidak tercapai kesepakatan antara kedua belah pihak. Lebih dari itu, berakhir ricuh. Ahok marah-marah dengan jari tangannya menunjuk-nunjuk kea rah anggota DPRD. Sebaliknya, beberapa anggota DPRD juga berbicara lantang kepada gubernur Ahok. Bahkan konon sempat terdengan teriakan tidak etis di ruang pertemuan itu.

Usai pertemuan mediasi yang berakhir ricuh itu, masyarakat pun dibuat gempar. Pro kontra kemudian muncul di berbagai lapisan masyarakat, elit hingga masyarakat bawah. Sebagian masyarakat mendukung sikap dan langkah Ahok yang begitu gigih dank eras menentang niat-niat buruk dari DPRD. Sebagian lagi prihatin dan menyayangkan sikap Ahok yang sangat kasar, tak beretika dan sama sekali tidak memperlihatkan sikap sopan santun.

Para pakar komunikasi politik banyak yang mengkritik gaya komunikasi Ahok. Salah satunya adalah Emrus Sihombing  yang mengatakan bahwa Ahok sering membuat pernyataan yang  membuat tidak nyaman pihak lain. Kritik-kritik tersebut rupanya sampai ke telinga Ahok. “Buat apa komunikasi dengan sopan dan santun kalau ada 12,T yang dicuri,” kata Ahok menjawab kritikan.

Di lain pihak, banyak juga masyarakat yang membela langkah dan sikap Ahok yang tegas, keras dan garang. Hal ini juga didukung dan diamini oleh Pakar Psikologi Komunikasi Politik, Hamdi Muluk. Dalam Bincang Pagi di MetroTV Selasa (17/3/2015) pagi, Hamdi Muluk mendukung dan setuju dengan sikap Ahok. “Buat apa sopan santun, kalau ternyata di belakang merugikan rakyat.”

Jika konteksnya untuk pemberantasan korupsi, untuk menegakan kebenaran, untuk membela kepentingan rakyat, maka premis, “Buat apa sopan santun kalau kenyataannya menipu rakyat,”  menjadi benar. Namun jika konteksnya untuk pembelajaran komunikasi politik, maka etika, sopan dan santun tetap harus dikedepankan.

Satu hal lagi yang perlu kita ingat bersama adalah bahwa setiap peristiwa sekarang ini bisa dilihat dan ditonton oleh semua kalangan masyarakat. Termasuk juga anak-anak. Jika anak-anak kita disuguhi tontonan yang seperti itu, apa jadinya mereka kelak. Bagaimana pun juga, Indonesia adalah bangsa yang mengedepankan ketimuran. Termasuk di dalamnya adalah soal etika, sopan dan santun dalam pergaulan.
Karena itu, kita sebagai orang tua, apalagi yang berkecimpung di dunia pendidikan, harus menyikapi dengan tepat. Untuk kemudian bisa menjelaskan kepada anak-anak, bagaimana sebaiknya dalam berkomunikasi dan menyampaikan pendapat.

Karena itu saya sangat setuju dan sependapat dengan pernyataan Ketua Komisi Nasional perlindungan Anak, Seto Mulyadi. Kak Seto sangat kagum dengan kejujuran dan keberanian Ahok. Namun Kak Seto kawatir gaya bicara Ahok akan berdampak buruk bagi anak-anak.

“Gaya bicara yang meledak-ledak itu merupakan contoh yang tidak baik bagi anak-anak. Karena anak-anak hanya melihat dari kulit luarnya saja. Apakah seorang pemimpin harus bertindak demikian?,” Jadi, Ahok sebagai Gubernur itu sebaiknya lebih arif dan bijaksana dalam berbicara. Sebab, perkataan dan ucapan Ahok bisa diserap anak-anak melalui berbagai media.”  (viva.co.id, 16/3/2015).

Jika kita disuguhi dua pilihan, kasar, garang  dan galak tapi membela kebenaran dan kejujuran, atau sopan dan santun tapi menipu, mencuri uang negara dan merugikan rakyat, maka kita sepakat untuk memilih yang pertama. Namun sebagai orang yang berbudaya dan berpendidikan, kita wajib mengupayakan dan menciptakan pilihan yang ketiga, yakni dengan etika yang baik, sopan dan santun untuk membela kebenaran dan  melawan kebatilan. Kita harus memperjuangkan Amar Ma’ruf Nahi Munkar dengan Akhlakul Karimah.

Salam,

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun