Wanita nelayan sebagai salah satu komponen masyarkat pesisir selama ini tidak banyak menyentuh perhatian kita, termasuk dalam berbagai program pembangunan dan pemberdayaan di wilayah pesisir. Isu-isu peran merekapun tidak banyak terdokumentasi dalam berbagai media. Wanita nelayan seolah-olah hanya menjadi bayanagn dari nelayan yang dalam pikiran kita hanya kaum pria yang sebagian atau seluruh hidupnya berjuang menghadapi gelombang besar atau angina kencang untuk memperoleh hasil tangkapan ikan. Kondisi demikian telah lama kita anggap sebagai hal yang lumrah, krea dalam buday kita wanita dikonstruksikan secara sosial maupun budaya untuk menjadi “kencang wingking” yang hanya berkutat pada bebagai urusan rumah tangga.
Keterbatasan ekonomi keluarga menuntut wanita nelayan termasuk anak-anak perempuan mereka bekerja di daerah pesiir. Wanita-wanita tersebut, jika dilihat dari aspek ekonomi perikanan sebenarnya menempati posisi yang sangat strategi. Mereka adalah pedagang pengecer, pengumpul ikan, pedagang besar maupun pegolah hasil perikanan, yang sangat menentukan berjalan atau tidaknya arus hasil perikanan dan kelautan dari produsen ke konsumen. Di beberapa wilayah pesisir bahkan peranan wanita kerja kaum pria, yaitu penangkapan ikan seperti yang banyak ditemukan dalam kegiatan penangkapan kepiting di hutan mangrove di Teluk Bintuni Papua. Peran produktif ini, bagi wanita nelayan bahkan sering mengalahkan peran reprodukif atau dimestiknya. Hasil kajian di pantai selatan Yogyakarta misalnya, ditemukan bahwa walaupun peran reproduktif menjadi tanggungan kaum wanita pesisir seperti membersihkan rumah, mencuci, dan menyiapkan makanan mencapai angka 80% setiap harinya , ketika mereka melakukan aktifitas produktif di pesisir. Peran tersebut ditinggalkan sementara dan diserahkan kepada anak atau ibu/nenek mereka.
Pengembangan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas manusia I wilayah pesisir seharusnya memperhatikan kondisi wanita maupun pria atau bersifat gender sensitive. Peran produktif wanita nelayan hanya dapat dioptimalisasikan apabila faktor penghambat yang melingkupinya teridentifikasi dengan baik. Walaupun secara kuantitatif jumlah wanita lebih banyak dari pada pria, belum banyak rencana pembangunan yang benar-benar medasarkan dengan kabutuhan kaum wanita, padahal mereka bekerja pada dua fungsi sekaligus, reproduktif dan produktif.
Program pembangunan pesisir ke dapan diharapkan dapat menyediakan kalangan pekerjaan kepada wanita nelayan untuk memiliki peluang yang sejajar dengan pria. Optimalisasi peran wanita nelayan dapat dicapai melalui integrasi kebijakan pembangunan dan pemberdayan perempuan ke dalam kebijakan nasional, provinsi, pemantauan maupun evaluasi pembangunan. Upaya ini tidaklah mudah dilakukan jika tidak didukung kesadaran dan kepekaan para pengambil kbjakan tentang kesetaraan dan keadilan gender yang diikuti oleh program-program yang dapat menjamin keterlibatan para wanita.
Program penguatan peran wanita dapat dilakukan melalui kelembagaan usaha melalui usaha yang berbasis kelompok. Melalui upaya ini para wanita diharapkan memiliki bargaining position yang lebih baik terhadap pesaing umumnya kaum pria dengan modal yang lebih besar. Upayay ini juga akan mempermudah akses wanita nelayan terhadap modal, pasar, informasi dan teknologi.
Isu gender seperti halnya peran wanita nelayan dalam pembangunan perikanan dan sektor terkait lainnya dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman berbagai perbedaan peran laki-laki dan perempuan dengan mempertimbangkan berbagai kepentingan sosial dan budaya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H