Mohon tunggu...
Badaruddin Amir
Badaruddin Amir Mohon Tunggu... Guru - Guru

Lahir di Barru pada 4 Mei 1962. Menulis puisi, cerpen dan esai satra pada berbagai media. Buku-bukunya yang sudah terbit antara lain, "Latopajoko & Anjing Kasmaran" (Kumpulan Cerpen), "Karya Sastra sebagai Bola Ajaib" (Kumpulan Esei), "Aku Menjelma Adam" (Kumpulan Puisi), "Cerita Kita Bersama" (Kumpulan puisi). Karya-karya cerpen dan puisinya yang lain dibuat dalam beberapa antologi bersama yang terbit di Makassar. Sekarang menjadi guru dan wartawan pada sala satu majalah pendidikan yang terbit di Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dia Memanjat Terus

13 Agustus 2018   13:11 Diperbarui: 13 Agustus 2018   14:04 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sekarang ia sudah betul-betul sudah sampai ke puncak menara itu. Tak ada lagi besi bersilangan di atasnya. Dan penangkal petir itu sudah dapat dirabanya. Dielus-elusnya. Tapi ia tidak perlu tergesa-gesa melaksanakan niatnya. Toh semuanya sudah di tangan. Tinggal mengendorkan baut-baut yang mengikat penangkal petir itu selesai sudah pekerjaannya. Dan itu bisa dilakukannya dengan tenang. Karena itu ia istirahat sebentar. 

Mengumpulkan seluruh tenaganya agar dapat bekerja dengan hati-hati. Ia melihat penangkal petir itu. Sebuah benda sebesar paha dengan panjang kira-kira satu meter setengah. Berapa ya, kira-kira harga benda ini ? tanyanya dalam hati. Tapi persetan dengan harga. Toh ia tak tahu sama sekali apa tujuan benda itu. Ia cuma menerima pesanan dari seseorang untuk mengambilkan benda itu dan untuk jerih payahnya ia dijanji imbalan sebesar lima ratus ribu rupiah. Ia berpikir uang lima ratus ribu itu cukup untuk melunasi tunggakan uang sekolah anaknya yang sudah duduk di bangku SMP.

Ia melemparkan lagi pandangannya ke rumah tingkat itu. Ia penasaran, karena pada malam selarut ini penghuni rumah tingkat itu ternyata belum tidur juga. Ia kini dapat melihat dengan jelas dua sejoli itu sedang bercumbu di teras lantai empat atau mungkin lantai lima rumah itu.

 Bercumbu ? Ah, sejenak ia membayangkan sebuah film jorok yang pernah ditontonnya di rumah rekannya melalui vcd yang baru saja dibelinya itu. Ia melihat laki-laki di teras rumah tingkat itu meraih bahu perempuan itu dengan kasar. Lalu ia melihat laki-laki itu menggigit bahu perempuan itu. Setelah itu ia mengangkat perempuan itu, sehingga sangat kentara gaung malamnya tersingkap. 

Kemudian ia menunggingnya. Memukul-mukul pantat perempuan itu. Adegannya persis sama dengan adegan film biru yang ditontonnya. Dan perempuan itu seperti pasrah saja mendapat perlakuan kasar dari lelaki itu. Kini ia seperti memahami mengapa pelaku dalam film biru yang ditontonnya melakukan perbuatan seperti itu. Tapi ia tidak tahu siapakah yang meniru-niru kini. Film yang ditontonnya atau lelaki itu. Yang jelas kekerasan seksual terjadi di rumah tingkat itu. Ya, boleh jadi lelaki itu seorang maniak.

Ia kini sudah dapat menebak apa yang akan dilakukan lelaki itu selanjutnya. Telinganya dipasangnya kuat-kuat untuk menangkap erangan erotis dari perempuan itu. Tapi jarak yang membentang antara puncak menara, tempatnya sedang asyik menontong dengan objek tontotan di rumah tingkat itu tak memungkin ia dapat mendengar erangan itu. Ia hanya menghayalkan sura-suara itu. Suara-suara yang telah mengganggu benaknya, tapi selalu ingin didengarnya lagi saban ia bergumul dengan istrinya di ranjang.

Tiba-tiba ia melihat lelaki itu bertambah ganas. Ia mengangkat perempuan itu dan menaikkannya ke dinding teras. Lalu dengan bernafsu, lelaki itu mendorong perempuan itu keluar sehingga perempuan itu melayang dari teras rumah berlantai empat atau mungkin lima itu. Ia masih melihat tangan perempuan itu menggapai-gapai, seolah menjerit minta tolong sebelum gelap menelannya bulat-bulat.

Ia kaget. Ia tak pernah membayangkan ujung adegang itu sangat fantastis.

"Astaga. Bajingan itu melemparkan perempuan itu dari lantai lima....!" pekiknya tak sadar. Ia tiba-tiba gemetar seperti diserang demam mendadak. Ia tiba-tiba merasa takut. Sangat takut. Terbayang dibenaknya perempuan itu sudah remuk setelah menyentuh tanah. Sebuah kejahatan di malam awal kemarau telah terjadi dan ia adalah adalah satu-satunya saksi. Saya harus berani mengungkap kejahatan, fikirnya. Ia pun membuang ujung tali yang sudah siap diikatkan pada penangkal petir itu, lalu turun pelan-pelan dengan perasaan remuk, seremuk tulang-tulang perempuan yang kini dibayangkannya tak utuh lagi itu.

Madello, 2006.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun