Selain fakta bahwa Orang dengan HIV-AIDS (ODHA) membutuhkan dukungan layanan kesehatan, mereka juga membutuhkan dukungan dalam bentuk perlindungan hukum.Â
Sering kita temukan stigma buruk masyarakat terhadap ODHA memunculkan diskriminasi. Status HIV yang rahasia, dibuka oleh orang tidak bertanggungjawab. Hingga ancaman kekerasan yang sudah sering kita dengar terjadi dan menjadi pemberitaan media.Â
Hal serupa juga kerap terjadi pada kelompok beresiko tinggi tertular HIV-AIDS seperti pengguna narkotika suntik, transpuan (waria), kelompok pekerja seks, lelaki yang berhubungan seks dengan lelaki (LSL), dan kelompok lainya.
Tanggal 01 Desember dunia memperingati Hari AIDS sedunia yang kerap ditandai dengan pita merah. Dalam peringatan ini, semua orang diajak untuk bersama memerangi HIV, menunjukan dukungan kepada orang dengan HIV, serta mengenang mereka yang sudah meninggal karena HIV.
HIV (human immunodeficiency virus) sendiri merupakan salah satu virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia. Jika HIV tidak segera mendapat perawatan, virus tersebut dapat membawa seseorang pada AIDS (acquired immunodeficiency syndrome). Orang dengan HIV AIDS (ODHA) memiliki sistem kekebalan tubuh yang sangat rendah sehingga memunculkan banyak penyakit yang biasa disebut sebagai infeksi opportunistik. Tidak jarang penyakit tersebut membawa mereka pada kematian.Â
Di tahun ini WHO mengangkat tema "Global Solidarity, Resilient Services" dimana WHO memberikan apresiasi dan penghormatan kepada seluruh orang yang memberikan layanan HIV. semua diajak untuk memberikan dukungan global. Selain itu tengah pandemi covid-19 WHO mengajak seluruh penyedia layanan untuk tetap mempertahankan kualitas khususnya untuk ODHA dan populasi kunci. Sementara itu di Indonesia sendiri Kemudahan layanan kesehatan di masa pandemi menjadi sorotan masyarakat.
Berbagai layanan serta dukungan kesehatan memang merupakan hal yang penting, namun selain hal tersebut perlindungan hukum juga perlu di dikuatkan. Hal ini dapat menjadi dukungan tambahan bagi ODHA dan kelompok beresiko tinggi yang kerap menjadi korban suatu tindak pidana.
ODHA dan kelompok beresiko tinggi kerap mendapat cap sebagai orang-orang "nakal" yang harus dijauhi. Tak jarang mereka diidentikan dengan seks bebas, pelaku tindak pidana narkotika, atau LGBT yang secara agama selalu dipandang sebagai pelanggar norma kesusilaan atau pendosa. Pandangan masyarakat yang seperti ini kerap menjadi alasan bahwa kelompok ini dapat diperlakukan semaunya, Â perlu dijauhi, dan akan selalu berada di posisi yang disalahkan.
Selama satu tahun terakhir dari sekarang saja kita bisa melihat banyaknnya ODHA dan kelompok beresiko tinggi menjadi korban. Tahun lalu kita mendengar kisah anak yang mendapatkan diskriminasi dari lingkungan sekitarnya. Mulai dari kisah seorang anak ditolak di panti asuhan karena mengidap HIV. Kisah anak yang dibully temannya karena status HIVnya. Sampai kisah anak yang diminta gurunya sendiri untuk berhenti sekokah karena status HIV. Kesemua kisah tersebut harus dijalani anak-anak itu sendiri tanpa adanya dukungan dari pihak lain.Â
Penyebarluasan status HIV yang sebenarnya rahasia juga kerap memposisikan ODHA dan kelompok beresiko tinggi menjadi korban. Dalam suatu media lokal di Bekasi, beberapa waktu yang lalu membuat suatu pemberitaan tentang dua anggota TNI yang terindikasi LGBT dan HIV-AIDS. Â Selain itu dalam konfrensi pers terkait penggerebekan terhadap komunitas "Hot-Space" di sebuah apartemen kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, bulan Agustus lalu, kepolisian menyatakan bahwa satu dari delapan tersangka berstatus positif HIV dan akan melakukan tes HIV kepada 8 tersangka lainnya serta menjadikan kondom dan alat pelicin sebagai barang bukti yang kemudian mendapat kecaman dari koalisi masyarakat anti stigma dan diskriminasi.
Status HIV seseorang merupakan informasi rahasia dan tidak bisa disebar luaskan tanpa izin dari orang tersebut. Ketentuan Pasal 21 ayat (3) Peraturan Menteri Kesehatan No 21 Tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS yang berbunyi "status HIV hanya dapat dibuka kepada yang bersangkutan, tenaga kesehatan yang menangani, keluarga terdekat dalam hal yang bersangkutan tidak cakap, pasangan seksual, dan pihak-pihak lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan"