Gender aequality, gagasan matriarki, isu feminisme dan sebagainya mulai banyak diangkat dan diperbincangkan hari ini. Dan lebih mengejutkan lagi ketika agama khususnya Islam dituduh sebagai biang keladi untuk sistem yang mendukung superioritas laki-laki, sehingga muncul banyak gerakan untuk menunjukkan keberdayaan perempuan. Banyak kutipan dalil dan nash dari al-Qur'an dan al-Hadits yang dipakai untuk mendukung gagasan ini. Benarkah Islam merupakan agama yang mendukung gagasan male chauvinism? Ataukah ini hanya sekedar kesalahpahaman? Jika benar hanya sekedar kesalahpahaman, mengapa nash-nash dalam agama secara implisit mendiskriminasi perempuan?
Gender equality bukan persoalan yang membahas permasalahan jenis kelamin (sex) yang secara biologis merupakan sesuatu yang sifatnya kodrati. Kesetaraan gender lebih membahas mengenai kesamaan hal yang harusnya bisa mereka dapatkan seperti pendidikan, pekerjaan, kepemimpinan dsb. Isu ini muncul di dunia pada saat konferensi Dunia tentang Perempuan di Kopenhagen tahun 1980.Â
Sementara di Indonesia, isu kesetaraan gender ini telah muncul tahun 1908 dengan penggagas yang terkenal yaitu Raden Ajeng Kartini. Tahun 2021, Indonesia menduduki posisi puncak di ASEAN untuk ketimpangan gender tertinggi. Hal ini tentu saja didukung 'semangat' patriarki yang berkembang luas di tengah masyarakat Indonesia. Isu ini kemudian semakin menguat ketika banyak tokoh-tokoh dan aktris-aktris terkenal di dunia mulai menyuarakannya.
Inferioritas perempuan telah ada sejak zaman Yunani kuno dan terus dilestarikan olah peradaban manusia, tak terkecuali juga dilestarikan oleh masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Dengan semboyan dasar untuk perempuan yang berupa 3R (dapur, kasur, rumah) menyiratkan sebuah pesan bahwa perempuan tidak perlu berpendidikan tinggi, berpengetahuan luas, memiliki karir profesional yang mentereng, dsb karena semuanya kembali pada urusan 3R tadi. Pertanyaan baru kemudian muncul, benarkah perempuan hanya bisa melakukan itu?Â
Atau itu hanya hasil rekayasa peradaban untuk membatasi perempuan? Pertanyaan yang mungkin akan muncul dalam sudut pandang agama Islam, apakah benar Islam mengatur dan mendukung konsep yang seperti itu? Jika benar tentu konsep ini akan sangat merugikan perempuan yang ditinggal wafat suaminya atau bercerai, sementara dia harus menghidupi anak dan anggota keluarganya yang lain.Â
Ingin meniti karir profesional dan menjadi ibu rumah tangga mandiri tidak dapat dia lakukan karena tidak memiliki pendidikan yang cukup. Ingin mendapatkan pekerjaan yang layak apalah daya pendidikannya tidak mendukung dia untuk mendapatkan pekerjaan tersebut. Pertanyaan kembali muncul dalam paradigma sebagai sesama muslim, apakah Islam sengaja mengatur demikian?
Nash dari al-Qur'an dan hadits sering hadir dengan term maskulin (muzakkar) bukan dalam bentuk feminism (muannats). Ini yang kemudian seakan menjadi indikator bahwasanya Islam menempatkan laki-laki jauh lebih tinggi kedudukannya dibandingkan perempuan. Ulama' lughowiyyun atau ulama ahli tata bahasa mengatakan bahwa term maskulin untuk menunjukkan keumuman perintah dan larangan yang ada dalam hukum Islam.Â
Termasuk keumuman pahala yang akan didapatkan oleh laki-laki dan perempuan yang mengerjakan perintah tersebut. Sedangkan term feminis ditujukan untuk memberikan perintah langsung yang dikhususkan hanya untuk kaum perempuan. Kekhususan term tersebut terkait dengan aspek biologis yang hanya dimiliki oleh kaum perempuan dan tidak dimiliki oleh kaum laki-laki.
"Ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya." Kalimat tersebut merupakan sebuah adagium sederhana dari para cendikiawan muslim tentang pentingnya pendidikan untuk seorang anak. Bagaimana ibu akan menjadi tempat pendidikan terbaik untuk seoran anak, sementara sang ibu sendiri tidak pernah diberikan kesempatan yang sama seperti sang ayah untuk memperoleh pendidikan.Â
Sebuah riset juga dikembangkan oleh salah satu universitas ternama di Glasgow yang menyatakan bahwa dua kromosom yang dimiliki oleh perempuan memberikan peluang lebih besar bagi seorang ibu untuk menurunkan gen kecerdasan kepada sang anak. Hal ini juga diamini oleh dokter Yulia, salah satu dokter di Fakultas Kedokteran UI. Walaupun, pengaruh lingkungan dan nutrisi yang diterima oleh sang anak juga berpengaruh pada kecerdasaannya.Â
Penulis kitab ar-Raudhul Unuf mengutip hadits yang diriwayatkan oleh Bunda Aisyah radhiyallahu anha, "Janganlah kalian menyusukan bayi kalian kepada wanita bodoh, karena air susu akan mewariskan sifat sang ibu." Pertanyaan selanjutnya kemudian muncul dengan narasi, bagiamana bangsa dan agama ini akan melahirkan generasi yang cerdas dan dapat memajukan bangsa dan agama, jika ibunya sendiri selaku sekolah pertama dan kemungkinan penyumbang gen kecerdasan yang lebih besar dari sang ayah, namun tidak memiliki kecerdasan yang cukup dikarenakan diskriminasi pendidikan dll? Benarkah Islam setuju akan adanya hal itu?