[caption id="" align="alignnone" width="390" caption="Somerset Bencoolen, salah satu proyek wakaf produktif di Singapura. Sumber gambar: http://www.warees.sg/"][/caption]
JAKARTA, BWI.or.id—Wakaf bukan melulu soal masjid dan kuburan. Dengan dikelola secara produktif dan profesional, harta wakaf yang berupa tanah maupun uang bisa membantu pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan dan bahkan mewujudkan kesejahteraan umum, bukan hanya umat Islam. Praktik wakaf yang berkembang di beberapa negara, semisal Turki dan Uni Emirat Arab, menjadi buktinya.
Demikian salah satu poin yang mengemuka dalam kunjungan Badan Wakaf Indonesia (BWI) ke kantor redaksi harian Kompas, Rabu siang (16/4/2014). Rombongan BWI berjumlah empat orang: Wakil Ketua Mustafa Edwin Nasution, Ketua Divisi Kerja Sama Luar Negeri Nursamad Kamba, Staf Hubungan Masyarakat Nurka’ib, dan Staf Sekretariat Haddy Furqon. Mereka ditemui oleh Wakil Redaktur Pelaksana Kompas, Mohammad Baqir, dan Wakil Sekretaris Redaksi, Nasir.
Mustafa Edwin Nasution memaparkan, harta wakaf yang berupa tanah dan uang bisa dirupakan menjadi rumah sakit, rumah susun sewa, gedung perkantoran, pusat perniagaan, selain juga masjid, kuburan, dan sekolah. “Lalu keuntungan dari pengelolaannya bisa disalurkan kepada masyarakat dalam bentuk beasiswa, untuk membangun jalan, program pengentasan kemiskinan, dan lain sebagainya,” ujar doktor lulusan Amerika Serikat ini.
[caption id="attachment_332150" align="alignnone" width="574" caption="Suasana diskusi antara pengurus BWI dan redaksi harian Kompas, Rabu (16/4), di kantor harian Kompas. Gambar dokumen pribadi."][/caption]
Ia menyayangkan, selama ini banyak pihak masih sangat sempit pemahamannya tentang wakaf. Akibatnya, aset dan potensi wakaf yang sangat besar di Indonesia belum bisa optimal dalam membantu program pembangunan nasional. Menurut data BWI, aset tanah wakaf di Indonesia mencapai 3,5 miliar meter persegi, sedangkan uang wakaf sudah terkumpul sekira Rp145 miliar. Potensi wakaf uang sendiri diperkirakan mencapai Rp120 triliun per tahun.
Masuk Kurikulum Pendidikan
Belum optimalnya peran wakaf dalam pembangunan nasional, di antaranya, karena pemahaman masyarakat yang belum memadai tentang wakaf. Banyak nazhir atau pengelola harta wakaf yang tidak mengerti konsep wakaf produktif. Untuk itu diperlukan sosialisasi yang sangat masif kepada semua lapisan masyarakat.
Karena itu, menurut Mohammad Baqir, substansi wakaf perlu masuk dalam mata pelajaran pada jenjang sekolah dasar, sekolah menengah, dan perguruan tinggi secara bertahap. Hal ini dimaksudkan agar mereka mengenal wakaf dengan pemahaman yang benar sejak dini.
Sejauh ini, kata Nursamad, wakaf sudah masuk dalam kurikulum pendidikan, tetapi baru di tingkat perguruan tinggi. Ke depan, wakaf bahkan perlu diintegrasikan dalam sistem ekonomi nasional.
“Berdasarkan kajian IRTI (The Islamic Research and Training Institute—sebuah lembaga di bawah Islamic Development Bank), wakaf perlu diintegrasikan dalam sistem ekonomi nasional tiap negara dalam rangka pengentasan kemiskinan,” jelas Nursamad.
Ia pun mencontohkan Dubai, Uni Emirat Arab. Di negeri Timur Tengah tersebut, Kementerian Sosial sudah dihapuskan dan perannya sebagai lembaga sosial diambil alih oleh lembaga wakaf.
Kendala Wakaf Produktif
Selain masalah sumber daya manusia, kendala lain dalam wakaf produktif adalah dana. Seringkali nazhir wakaf tanah yang hendak mengembangkan proyek wakaf produktif terhambat oleh ketiadaan modal. Misalnya, ia ingin mengembangkan proyek peternakan, tetapi tidak mempunyai cukup modal untuk membeli bibit dan biaya pemeliharaan. Sementara, tanah wakaf yang menjadi satu-satunya modal tidak bisa dijaminkan untuk mendapatkan pembiayaan melalui perbankan.
Menurut Nursamad, wakaf uang bisa menjadi salah satu solusinya. Nazhir harus membuat proposal proyek tersebut secara lengkap, membentuk manajemen pengelola proyek, mendaftarkan diri kepada BWI sebagai nazhir wakaf uang, lalu membuka kotak wakaf. Kotak wakaf di sini maksudnya adalah rekening pada lembaga keuangan syariah penerima wakaf uang (LKS-PWU) tempat masyarakat nantinya menyetorkan wakaf uang mereka.
“Di Yordania, kalau masjid tidak mempunyai dana, sebagian halaman masjid dipakai sebagai bazar atau dibangun toko,” cerita Nursamad. Lalu keuntungan dari bazar dan toko digunakan untuk membiayai operasional masjid. “Hal itu berlaku secara nasional di Yordania.”
Ide kreatif lain dikemukakan oleh Mohammad Baqir. Berdasarkan pengalamannya, nazhir bisa saja menyewa atau meminjam hutan gundul milik Perhutani untuk ditanami pohon buah tertentu yang juga bisa berfungsi sebagai penghijauan. Dalam klausul perjanjian disebutkan bahwa buah yang dihasilkan akan menjadi milik nazhir, sementara Perhutani mendapat keuntungan berupa penghijauan. “Untuk itu, perlu pendekatan kepada kepala daerah dan pejabat terkait,” jelas dia.[]
Penulis: Nurkaib
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H