Entah bagaimana sebenarnya pandangan masyarakat terhadap pemerintah akhir-akhir ini. Melalui media massa, masyarakat menyaksikan begitu jelas pelecehan-pelecehan terhadap hukum dan nilai-nilai keadilan, tapi pemerintah sebagai pihak yang memiliki kekuasaan atas operasional hukum republik ini nampak tak berdaya, seperti tidak tahu harus menggunakan jurus apa sebagai solusi atas persoalan-persoalan yang melukai rasa keadilan masyarakat.
Terhadap kasus korupsi, suap menyuap lembaga peradilan, soal pseudo-penjara, hingga kasus fenomenal mafia pajak yang melibatkan pegawai Kementrian Keuangan Gayus Tambunan, pemerintah -dalam hal ini lembaga eksekutif yang direpresentasikan oleh presiden- seperti gamang untuk bertindak, maju takut kena tackling, mundur pun jelas tak mungkin, mengingat resiko politik yang siap menghadang. Upaya yang dilakukan pemerintah, entah itu dalam bentuk instruksi, pembentukan institusi baru penegakkan hukum, pembentukan satgas atau yang lainnya, sejauh ini belum juga memuaskan dahaga publik akan tegaknya hukum dan keadilan di negeri ini.
Dalam menangani persoalan-persoalan hukum yang cukup menjadi perhatian masyarakat, Pemerintah seperti sekadar menembakkan peluru karet, letusannya memang terdengar, namun peluru cuma bisa melukai, belum mampu untuk benar-benar melumpuhkan. Proses hukum yang berjalan pun seringkali nampak seperti proses yang asal berjalan, proses yang tidak menelisik terlalu jauh, seperti sekadar untuk menghentikan kegaduhan dalam masyarakat saja.
Seperti yang terlihat pada Kasus Gayus, secara rasional seorang Gayus hanyalah orang yang "menjual jasa" kepada pihak-pihak yang melakukan kejahatan terhadap keuangan negara. Namun penegakkan hukum atas kasus ini seperti mengalami proses amputasi, hanya berujung tak jauh dari level Gayus agar tak merembet kepada sesuatu yang lebih tinggi. Ini nampak pada respon atas keterangan dia tentang siapa saja pihak yang terlibat dalam kasusnya, juga pengakuan dia yang konon memiliki informasi yang bisa menyeret koruptor kelas kakap serta pejabat di kementrian keuangan, pemegang kekuasan hukum negeri ini seperti kurang antusias menyambut keterangan-keterangan itu. Imbasnya banyak yang mensinyalir, kasus Gayus ini tak hanya melibatkan pemain kelas teri, tapi melibatkan pihak-pihak berpengaruh yang bisa punya kendali terhadap operasional penegakkan hukum di negeri ini.
Kalau memang benar pihak berpengaruh ini yang menjadi penyebab kegamangan pemerintah dalam menangani kasus macam Gayus, itu merupakan ironi terhadap demokrasi yang sedang kita jalankan. Seperti yang kita tahu pemerintahan hasil sistem demokrasi ini dibangun atas persekutuan antara kepentingan-kepentingan politik, juga dengan kepentingan bisnis, yang tentu saja meniscayakan adanya intervensi dari para pemilik saham kekuasaan.
Namun tak eloknya, intervensi yang dilakukan para pemegang saham kekuasaan ini biasanya lebih karena keuntungan yang sifatnya sempit. Dan menjadi suatu yang buruk bagi demokrasi jika para "investor" kekuasaan ini adalah pihak-pihak yang memiliki dosa terhadap negara. Tentunya campur tangan yang dilakukan para pemegang saham ini utamanya agar tidak ada proses peradilan terhadap dosa-dosa yang sudah mereka lakukan terhadap republik ini.
Ini agaknya yang ditangkap sebagian masyarakat terhadap beberapa persoalan hukum di negeri ini. Dalam perkara Gayus misal, tak sedikit yang menduga kasus mafia pajak (juga mafia hukum) ini melibatkan pihak-pihak yang punya posisi tawar yang lumayan untuk melakukan transaksi dengan pemerintah, selain mereka sendiri juga punya kekuatan untuk mempengaruhi operasional penegakkan hukum negeri ini.
Dan jika dalam kasus Gayus --juga kasus kejahatan terhadap keuangan negara lainnya, pemerintah tak bisa berbuat banyak, artinya cukup sekadar menjalankan proses hukum yang normatif, dimana yang sudah nampak salah pasti kena hukuman, tanpa menggali lebih dalam untuk menemukan pelaku-pelaku kelas kakap. Maka pemerintah sebagai pemegang kekuasan operasional hukum di republik ini, seperti figur penguasa yang tersandera.
Penguasa yang tak bisa berbuat banyak karena tersandera oleh kepentingan-kepentingan sempit kekuasaan, tersandera oleh kepentingan politis-transaksional. Maka dari itu, kalau benar memang tak disandera oleh kepentingan-kepentingan tertentu, pemerintah sebaiknya mengeluarkan jurus-jurus jitu untuk menghentikan pelecehan-pelecehan hukum yang terus mengusik rasa keadilan masyarakat ini. Bukan penegakan hukum lip service, yang sekadar untuk menghentikan kegaduhan dalam masyarakat. Kalau penghentian terhadap pelecehan-pelecehan hukum ini tidak terjadi, bisa jadi pemerintah akan dianggap sebagai bagian dari pelaku kejahatan terhadap negara. (mab)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H