Mohon tunggu...
Bachtiar Masarif
Bachtiar Masarif Mohon Tunggu... -

Gelandangan di tepi sejarah.pergi kemana-mana, tak tahu mesti pulang kemana.. :)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sepakbola dan Kita

6 Februari 2011   01:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:52 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Entah, saya tak tahu persis bagaimana mulanya sepakbola menjadi semacam anak emas dunia olahraga, menjadi bagian yg tak bisa ditinggalkan dari dinamika peradaban manusia modern. Sepakbola yang awalnya sekadar permainan “rebutan bola” sudah menjelma menjadi industri yang melibatkan milyaran hingga trilyunan rupiah, yang cakupannya meluas tak sekadar urusan sepasang kaki untuk berlari dan menendang bola. Bahkan bagi sebagian penggemarnya --penggila mungkin lebih tepatnya, sepakbola juga identitas, tim siapa atau klub mana yang mereka dukung itulah bagian dari identitas diri mereka.

Di dalam sepakbola, baik itu dalam frame permainan ataupun pertandingan, seringkali kita juga bisa menemukan apa yang juga terjadi di luar lapangan hijau. Saat peluit tanda mulainya pertandingan dibunyikan, disitulah kita harus berkomitmen, bahwa sampai 90 menit ke depan harus mampu menahan diri untuk tidak melakukan hal-hal yang tidak diijinkan aturan main dalam sepakbola, seperti tak boleh menggunakan tangan, mencederai lawan ataupun merendahkan kehormatan lawan. Pun dalam kehidupan bermasyarakat, saat kita berkomitmen menjadi bagian dari sistem yang disepakati bersama, kita harus mampu menahan diri untuk tidak melakukan hal-hal yang dapat menciderai dan mengganggu kehidupan orang lain. Kalau dalam pertandingan sepakbola, adakalanya seseorang harus melakukan tackling terhadap kaki lawan, tapi dengan catatan tackling harus dilakukan atas dasar perhitungan rasional yang jikatak dilakukan akan membahayakan gawang sendiri, bukan karena niat untuk mencederai kaki lawan. Maka di luar lapangan hijau, dalam kehidupan bermasyarakat kadang perlu juga untuk melakukan semacam tackling-tackling sosial, seperti saat kita harus memarahi ataupun dimarahi saudara atau kawan kita sendiri, karena secara metodologi memang perlu dimarahi demi perubahan ke arah yang lebih baik, bukan atas dasar kemarahan atau kebencian.

Bagaimanapun sepakbola tak sekadar pemainan tapi juga pertandingan yang harus ada pemenang dan ada yang kalah, maka ujung dari pertandingan 2 x 45 menit ini hanya ada dua kemungkinan, yakni meraih kemenangan atau harus menerima kekalahan. Mungkin secara naluriah kita lebih siap untuk menghadapi kemenangan, tapi tak terlalu memiliki kesiapan jika harus menerima kekalahan, bahkan sekadar membicarakan kekalahan pun enggan, dianggap hanya akan membawa pada kekalahan yang sesungguhnya. Tapi kembali kepada hakikat sepakbola yg sekadar sebuah permainan, kalah menang adalah realitas setelah perjuangan selama 90 menit, bagi pemain yang lebih penting dari itu adalah bagaimana bermain sebaik mungkin dan menikmati permainan, toh seringkali kemenangan hadir tak hanya saat mengalahkan lawan di sebuah pertandingan, tapi juga saat memenangkan hati penonton dengan permainan yang cantik dan menawan.Seperti juga dalam kehidupan yang tak melulu soal menang atau kalah, soal sukses ataupun tidak sukses, lebih bermakna dari itu adalah bagaimana hidup kita bisa berharga, berharga bagi sendiri, berharga bagi orang lain dan juga lingkungan. Dari sepakbola –juga permainan lainnya- kita belajar bahwa proses yang baik, elegan, tanpa kecurangan jauh lebih bernilai ketimbang proses pragmatis untuk meraih kesuksesan. Tak bisa dipungkiri kesuksesan atau kemenangan adalah sesuatu yang manis, tapi juga sesuatu yang jika dirayakan harus dengan penuh kehormatan, sebab dibalik hiruk pikuk perayaan kemenangan atau kesuksesan yang kita raih seringkali ada pihak lain yang harus menerima kekalahan.

Dunia Sepakbola kadang juga bisa jadi cermin perilaku kehidupan sosial politik, bukankah dalam kehidupan politik kita ini seringkali seperti pendukung tim sepakbola, yang mencaci dan mempersalahkan wasit saat kepimpinannya buruk dan lebih menguntungkan tim lawan. Tapi saat kepemimpinan wasit yang buruk itu justru menguntungkan kesebelasan yang kita dukung, kita mengatakan “wasit memimpin dengan baik”, atau setidaknya diam saja. Artinya, untuk mengatakan ini benar ataupun ini salah seringkali masih tergantung kepada pihak mana kepentingan ditambatkan. Bahkan seringkali kita lebih membenci pada kebenaran, ketimbang kepada kejahatan yang sesungguhnya, hanya karena kebenaran itu mengancam kepentingan dan eksistensi kita.

Bachtiar Masarif

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun