Persoalan perdagangan anak untuk tujuan seksual banyak terjadi di Indonesia, anak-anak selalu menjadi target dari sindikat perdagangan manusia, hal ini terjadi karena anak-anak mudah untuk diajak, dirayu dan dijanjikan untuk mendapatkan keuntungan yang banyak. Kasus-kasus perdagangan terhadap manusia menjadi persoalan yang rumit dan kompleks karena selalu melibatkan orang-orang terdekat dari anak-anak seperti yang terjadi di daerah Bali yang dilakukan oleh orang Belanda.
Teori Darwinian tentang sains sosial pada zamannya (Hinkle 1980: bab 9). Sekarang, jelas bahwa keberagaman masyarakat adalah semacam studi-studi evolusioner yang mengasumsikan pola-pola perkembangan sosial yang seragam dalam semua masyarakat hanya akan membawa penyederhanaan (jika bersifat sugestif) sebagai akibat terbaik dan yang terburuk adalah penyesatan yang nyata (buku Sosiologi Hukum Karangan Roger Cotterel halaman 35).
Berangkat dari teori dari Darwinian, nampak terdapat penyesatan yang nyata yang telah terjasi di daerah Bali. Dimana penyesatan ini dilakukan oleh warga asing bernama Jan Vogel yang berkewarganegaraan Belanda dan tinggal di sebuah Singaraja yang terletak di Denpasar Bali. Masyarakat sekitar tempat tinggal Jan Van Hoggen sangat senang dengan kedatangannya, hal ini karena Jan Van Hoggen terkenal dengan wisatawan yang murah hati, tidak pelit dan suka membantu warga, memberikan sumbangan untuk sekolah, mengajak anak-anak bermain di kolam renang di villanya, mengajak anak-anak ke Denpasar, membelikan coklat dan perlakuan baik kepada masyarakat sekitar. Jan Van Hoggen biasanya mengajak anak-anak yang berlatar belakang dari ekonomi keluarga yang miskin secara ekonomi dan terbelakang secara pendidikan.Â
Masyakat mulai mencurigai pelaku, karena sering pelaku membawa anak-anak ke villanya dan yang kebanyakan didekatin adalah anak-anak dari keluarga yang tidak mampu. LSM Bali mencurigai motif yang dilakukan oleh Jan Van ini, LSM akhirnya bergerak untuk mengumpulkan bukti dari laporan masyarakat. LSM mengawalinya dengan mendekati keluarga yang anaknya selalu diajak untuk datang ke villanya Jan Van. Pada awalnya keluarga korban tidak terbuka mengenai kejadian ini, orang tua korban selalu memberikan sinyal kepada anak-anaknya untuk tidak menceritakan kejadian tersebut.
Dalam kasus ini, ada 4 anak-anak yang menjadi korban, namun tidak semua korban menceritakan kejadian tersebut dengan terbuka, hanya satu korban saja yang menceritakan kejadian tersebut kepada pendamping tersebut. Korban menceritakan bahwa dirinya biasa diajak makan dan minum di restoran, bermain di kolam renang, diajak berlibur dan selalu memberikan baju dan celana. Jan Van juga sering memperbaiki kamar mandi warga, biasanya setelah Jan Van memberikan semua itu, dia biasa menciumi, dan memegang tubuh si korban, korban menganggap itu biasa. Bahkan terkadang Jan Van biasa meraba tubuhnya, payudara dan pantat si korban diremas dan Jan Van meminta untuk diraba tubuhnya juga. Kejadian ini terjadi, terkadang di rumahpelaku dan juga terjadi di rumah korban saat orang tua korban diluar rumah.Â
Namun ada orang tua korban yang mengetahui anakanya diperlakukan Jan Van seperti itu namun tidak berani untuk menegurnya karena memiliki ketergantungan secara ekonomi. Akhirnya Jan Van diajukan ke muka persidangan yang kemudian dirinya melanggar pasal 82 UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak karena Jan Van telah membujuk anak untuk melakukan perbuatan cabul. Berdasakarkan putusan hakim maka Jan Van dijatuhi pidana penjara 3 tahun 5 bulan penjara dan restitusi sebesar Rp 60.000.000 juta rupiah.Â
Melihat kejadian diatas sangat jelas bahwa perbuatan yang dilakukan Jan Van ini  dapat merusak mental, menimbulkan trauma sehingga mempengaruhi perkembangan serta masa depan anak-anak kedepan. Maka jelas bahwa korban akan mengalami gangguan baik fisik, mental, maupun sosial. Hal ini selaras dengan buku Sosiologi Hukum karangan Roger Cotterel halaman 29, didalamnya terdapat teori dari Summer yang menyatakan bahwa analisis sosiologis menuntut kepada penegasan yang kuat terhadap ketiadaan otonomi dari hukum sebagai sebuah institusi sosial. Tetapi ini justru hanya memunculkari pertanyaan lain mengenai hakikat dari kekuatan-kekuatan yang mem. bentuk hukum.
Banyaknya kejadian pencabulan anak, pemerintah seharusnya melakukan perubahan terhadap Undang-Undang agar mempertimbangkan persoalan pornografi yang semakin mengalami kemajuan dalam aksesnya, selain itu perlu adanya perubahan hukuman khususnya penjatuhan hukuman dengan tidak menggunakan hukuman alternatif kumulatif melainkan hukuman kumulatif. Karena pemberian hukuman alternatif kumulatif sangat tidak memberikan efek jera bagi para pelaku pornografi karena kebanyakan pelaku adalah orang yang memiliki kemampuan secara finansial, hal ini tentu tidak sebandingkan dengan penderitaan korban dari kejahatan pornografi. Hukuman kumulatif sangat penting agar pelaku dapat mempertimbangkan secara baik sebelum melakukan tindakan pornografi, selain itu juga agar UU ini juga dapat mengakomodir mengenai mengenai hak-hak korban yaitu hak untuk mendapatkan rehabilitasi, restitusi dan pemulihan untuk si korban.
Daftar Pustaka:
Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang.Laporan Sub Gugus Tugas Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). 2015.