Suatu ketika ditengah-tengah pertemuan rutin warga di RW 10, kampung Sidowayah, Klaten saya berbincang-bincang dengan tetangga yang sekaligus seorang sahabat. Dari yang berawal saling menanyakan kabar dan kesehatam hingga berlanjut ke kabar actual yang terjadi di sekitar kami. Â Dan tidak disanggka beliau pun mulai menceritakan kegelisahan hatinya menjelang masa pensiun yang akan dijalaninya; "Dua tahun lagi saya pensiun, anak-anak belum selesai kuliahnya, selama ini aja sudah gali dan tutup lobang yang nggak tahu kapan selesainya" .Â
"Sabar mas Agus, begitulah resiko pegawai swasta dan wiraswasta kayak kita-kita ini. Yang penting mulai sekarang kita mesti persiapan duluah gimana caranya, mungkin cari apa bikin usaha sampingan yang siapa tahu menghasilkan dan bisa jadi kerjaan kita di masa-masa pensiun nanti. Yang penting sedia paying seblum hujan." jawab saya pada waktu, yang hanya sekedar bicara untuk saling menenangkan diri kami.
Kami pun sama-sama tersenyum getir mengingat tidak semudah membalik tangan untuk mendapatkan ekonomi kami kedepannya. Hingga acara pertemuan selesai, saling berpamitan  dan pulang ke rumah masing-masing, tidak ada solusi yang menenangkan hati berkaitan dengan masa persiapan pension.
usaha sampingan yang dapat dijadikan sandaranSetelah sampai di rumah, saya dan istri pun saling berbagi cerita berkaitan dengan pertemuan warga  di kampong kami. Yang menjadi kegelisahan hampir semua orang adalah semakin beratnya beban ekonomi dan kehidupan, hampir semuanya mengeluh dengan berbagai persoalan masing-masing yang pada intinya berawal dari kondisi ekonominya. Dan kami pun mulai belajar dan mencari solusi terbaik berkaitan dengan persiapan masa tua yang pasti terjadi dan tidak dapat kami hindari kecuali kematian.
Meskipun berbagai macam usaha sampingan yang kami lakukan belum menampakkan hasil yang signifikan. kami tetap berusaha untuk tidak menyerah begitu saja. Selalu simpan uang ke dalam berbagai bentuk investasi pribadi menjadi alternatif kami yang belum memiliki ilmu tentang investasi. Yang kami lakukan adalah mengikuti berbagai tabungan berjangka yang berhadiah seperi di Kospin Asli, BPR Restu dan BPR Waleri Makmur.
Selain itu istri saya mulai membuka tabungan emas di pegadaian. Kami berencana mengumpulkan sedikit demi sedikit untuk memiliki emas, seperti yang diajarkan di dalam buku emas yang kami beli sebelumnya. Tips "Berkebun Emas" yang ilustrasinya menarik denan alur perputarannya  yang cukup sederhana coba kami praktekkan.
Tetapi karena keterbatasan ilmu dan uang yang kami miliki, metode berkebun emas pun hanya kami jalani dengan nominal kecil. Yang tentunya juga berpengaruh perkembangan jumlah simpanan emas batangan kami. Dikatakan berhasil juga tidak, dikatakan gagal juga tidak. Perkembangannya sangat lamban, bahkan tidak berakibat apapun  dengan keuangan dan ekonomi keluarga kami.
Kami terus pelajari berbagai artikel dan literasi yang berkaitan dengan persiapan masa pension kami. Yang membuat kami penasaran adalah hamper semua pakar keuangan selalu menyinggung emas sebagai sarana investasi paling aman dan terabik di dunia, dibandingkan dengan aset-aset keuangan lainnya.
 Kami sungguh beruntung, selain tehknik berkebun emas yang pada waktu itu menjadi trend di Indonesia. kami juga menjadi lebih paham tentang emas. Sehingga kami dapat membedakan berbagai jenis emas  dan fungsinya.  Yang kemudian  membuat saya semakin yakin dengan pilihan kami untu berinvestasi emas.
Dulu Kata emas yang kami pahami adalah perhiasan atau  assesoris yang biasa di pakai kaum wanita, sebagaimana gelang, kalung, cincin dan sebagainya. Yang digunakan untuk mempercantik penampilan mereka. Modelnya yang cantik sedemikian rupa dengan bertaburan batu permata. Sehingga harganya menjadi sangat mahal dan  prestise bagi pemakainya. Maka, banyak kaum wanita menjadi perhiasan emas mereka sebagai salah bentuk investasi  atau simpanan dana daruratnya.  Selain itu emas perhiasan juga memberikan keuntungan bagi pemiliknya karena dapat dimanfaatkan langsung untuk menghias tubuhnya. Apalagi perhiasan emas cukup mudah ditemui dengan berbagai model atau bentuk  yang sesuai dengan selera pembelinya.
Sayangnya kita akan dibebani biaya pembuatannya yang besaranya bervariasi tergantung dengan took emas tersebut. Apalagi adanya beban biaya PPn (Pajak Pertambahan Nilai), karena perhiasan emas merupakan barang mewah. Yang terkadang kurang mengenakkan adalah tidak semua toko emas mau melakukan buy-back (beli kembali) dengan berbagai alas an, seperti bukan produknya, model dan ukurannya dianggap kuno atau rusak. Kalupun bersedia buy-back, harga yang ditawarkan jauh dibwah pasaran umumnya.