Mohon tunggu...
Herman Wahyudhi
Herman Wahyudhi Mohon Tunggu... Insinyur - PNS, Traveller, Numismatik, dan Pelahap Bermacam Buku

Semakin banyak tahu semakin tahu bahwa banyak yang kita tidak tahu. Terus belajar, belajar, dan belajar.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jangan Salah Hitung Hidangan Pernikahan

13 Januari 2020   14:39 Diperbarui: 13 Januari 2020   14:35 501
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Silakan makan (foto : plaminan.com)

Saya menikah ketika berumur 28 tahun dengan status masih pegawai honorer.   Calon isteri (sekarang alhamdulillah sudah sah jadi isteri, mudahan sampai kakek nenek) saat itu bekerja di sebuah perusahaan swasta di Tangerang.   Hasil tabungan kami tidak banyak tetapi cukuplah untuk menyelenggarakan pesta pernikahan.  Kami tak mau terlalu membebani orangtua yang sudah banyak berkorban untuk kehidupan kami. 

Perhitungan harus detail agar biaya tidak membengkak (overbudget).   Selain biaya gedung, pelaminan, cetak undangan,  kami juga memperhitungan masak-masak jumlah undangan dan makanan yang tersedia.  Jangan sampai para tamu kecewa dengan hidangan  yang disediakan.   Ini peristiwa sekali seumur  hidup yang akan kami kenang selalu.  Kami juga tak mau kecewa.   

Menjamu tamu sebaik mungkin adalah kewajiban kami.   Kami memperhitungan jumlah tamu yang akan datang dengan makanan yang tersedia.   Menunya, buah-buahan, minuman, kebersihan, kursi, dan lain-lain.    Jangan sampai kita kekurangan makanan buat tamu.   Mereka sudah jauh-jauh datang memenuhi undangan kami.  Pernikahan bukan mencari Break Even Point (BEP) atau titik impas dalam ilmu ekonomi biar bisa balik modal.   Tapi pernikahan niatnya adalah ibadah.  Syukur-syukur kalau bisa balik modal.

Alhamdulillah, saat pernikahan berlangsung cuaca cerah.  Tamu yang diundang juga banyak yang datang.  Ada tetangga, teman sekolah, teman kuliah.  Meski ada satu dua yang tak kami kenal (ini tamu tak diundang karena kami menemukan amplop dengan isi hanya potongan koran).  Tak masalah, ini pesta kami,   Hidangan pun memenuhi harapan kami.  

Masih cukup banyak makanan tersisa dan dibagikan kepada saudara dan tetangga.  Tapi yang senang, hidangan untuk tamu mencukupi.  Ada mie kocok, zupa zupa, sate ayam, sate kambing, bakso, cukup beragam.

Tapi ada juga mempelai yang memperhitungan makanan pas-pasan.  Ia tak mau rugi.  Misalkan yang diundang 400 orang.   Maka makanan yang disediakan adalah 400 x 2 = 800 porsi.   Tak lebih dan tak terserah.  Dengan asumsi tiap tamu datang dengan pasangannya.   Toh akan ada tamu yang tidak datang atau hanya sendiri saja.  Ini mau menikah atau cari untung?   Ada baiknya porsi hidangan dilebihkan.  Toh tidak ada ruginya.

Beberapa kali terjadi ada kejadian unik perihal hidangan pernikahan.  Pernah menghadiri undangan, makanan yang tersedia sudah habis.  Yang tersisa hanya nasi dan minuman.   Makanan yang ada ludes, nasi sudah diacak-acak.  Hal ini kerap menimpa tamu yang datang di saat injury time atau akhir waktu.  Pantas saja banyak yang datang di awal waktu karena makanan masih banyak tersedia dan pilihannya lengkap.

Para tamu yang datang di awal juga tak mau rugi.  Kadang mereka datang satu kompi.   Bergerilya sedini mungkin.   Kalau bisa mencicipi semua masakan yang tersedia. Pernah pula makanan habis, tetapi tuan rumah tetap berjuang.   Mereka memborong sosis dan nugget yang ada di mini market terdekat.   Menggoreng di salah satu stand yang memiliki kompor.  Para tamu antri menunggu sosis dan nugget matang.   Jadi sungguhannya ala bujangan alias anak kos. 

Ini lebih baik, dibandingkan tuan rumahnya masa bodo.  Tamu jauh-jauh dibiarkan kelaparan.

"Ayo makan, mumpung gratis!" kata tuan rumah agak ketus.  

Pernah tidak mengalami ucapan demikian?  Waktu itu saya masih kos dan menghadiri pernikahan tetangga kos bersama dua orang teman.   Namanya juga diundang.  Kita tidak lupa bawa amplop sesuai budget anak kos.   Tapi mungkin tuan rumah melihat kita ini tidak bonafit dan pasti rugi.  Yang diundang satu, yang datang tiga.   Mana anak kos makannya banyak.  Apalagi anak kos hidupnya masih dibayari orangtua dan belum punya penghasilan.  Rugi gua! Begitu mungkin pikir tuan rumah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun