Millennials are the experiences generation -- Julia Hertz
Seorang rekan kantor, sebut saja Rudi, menimbang-nimbang selebaran iklan mobil ditangannya. Â Ia seorang Aparat Sipil Negara (ASN) baru dengan masa kerja dua tahun. Â Usianya masih 23 tahun, artinya masih kerjanya masih 35 tahun lagi sebelum pensiun. Â Sebagai seorang sarjana, ia mendapat gaji sesuai sebesar Rp 2,9 juta. Â Ditambah tunjangan kinerja (tukin) sebesar Rp 3,9 juta. Â Total pendapatansetiap bulan sebesar 6,8 juta rupiah. Â Belum termasuk pendapatan dari perjalanan dinas dan lain-lain. Apalagi tahun ini gaji ASN naik lima persen.
Dengan pendapatan sebagai ASN, Rudi berencana mengambil kredit mobil dengan cicilan 3 juta perbulan selama 60 bulan. Â Â
"Kenapa tidak ambil rumah saja?" tanya saya.
Pertimbangannya, Rudi masih single dan selama ini ia mengendarai motor ke kantor. Â Ia juga masih indekost di daerah Blok A dengan sewa satu juta rupiah perbulan dan dekat dengan kantor. Â Apa memang harus beli mobil? Rudi juga harus mempertimbangkan biaya perawatan, bensin, dan sewa parkir.
"Buat apa punya rumah tapi kalau masih jomblo," timpal temannya yang sudah punya mobil tetapi masih aja jomblo.  Mulutnya sibuk mengunyah combro.  Baginya penampilan adalah nomor satu.  Masak cowo ganteng ke kantor naik busway...no way.  Gitu katanya pada suatu ketika.   Â
Jadi ingat lagu Bang Rhoma Irama,Â
Darah muda darahnya para remaja,
Yang selalu merasa gagah,
Tak pernah mau mengalah.
Padahal menurut teori kebutuhan Maslow, setelah kebutuhan sandang dan pangan terpenuhi, selanjutnya kebutuhan papan.  Sedangkan mobil merupakan kebutuhan tersier nomor sekian.  Apalagi harga mobil tiap tahun terus tergerus.  Bandingkan dengan properti atau hunian yang setiap tahun nilainya selalu meningkat sekitar 20 persen.  Rudi sebagai generasi milenial seharusnya mulai berpikir cara  menginvestasikan uangnya.  Kebutuhan hunian terpenuhi, masa depan pun terjamin.