Mohon tunggu...
baby panda
baby panda Mohon Tunggu... -

Panda itu gendut, kalo ndak gendut ndak lucu :)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Cerita dari Negeri yang Jauh

28 September 2010   01:47 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:54 575
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tulisan ini tulisan lama. Baru saya posting sekarang karena saya baru ingat kalau saya sudah dioyak-oyak untuk lulus T.T. Rasanya mengharukan membaca pengalaman saya "belajar" skripsi ini lagi. Rasa bahagianya masih terasa. Tulisan ini memang tulisan pendek dari pengalaman saya "belajar" mencari data skripsi: sejumput pengalaman bersama adik2 autis dan tunarungu. Rasanya masih sama, masih mengharukan dan masih membuat saya senyum-senyum setelah selesai membacanya :). Begini kisahnya.... Berawal dari telepon seseorang (atau miscall yah), mengawali pagi hari dengan semangat. Sholat, bersihin kamar, dan nyalain TV: Spongebob Squarepants. Saya yakin, cerita Spongebob pagi tadi adalah sebuah pertanda bahwa hari ini segala sesuatu akan berjalan baik (amiiinn): The Best Day Ever. Dan benar, sepanjang hari ini (setidaknya sampai detik saya memposting tulisan ini) suara cempreng Spongebob dalam lagu “The Best Day Ever” masih terngiang.Sudah berminggu-minggu saya melupakan salah satu tugas mata kuliah saya: Seminar Linguistik. Baru seminggu yang lalu saya ngebut untuk menyelesaikannya, mulai dari meminta surat izin ke fakultas hingga meminta izin ke Sekolah Luar Biasa yang saya tuju. Alhamdulillah, semuanya beres dalam waktu satu minggu lebih sedikit 

D
D
. Proposal “latihan” seminar saya tentang produksi tuturan anak autis. Mengapa anak autis? Bolehlah dibilang topik itu sedang trend, tapi jauh dari itu, saya tertarik dengan anak autis karena (mungkin) dulu saya adalah anak autis. Kenapa Sekolah Luar Biasa, bukan sekolah khusus anak autis? Karena di Sekolah Luar Biasa (SLB) anak autis akan lebih mudah bersosialisasi dengan manusia asing dan para guru di SLB lebih welcome dengan saya. Nah, SLB Yapenas adalah SLB yang paling mau menerima saya apa adanya. Ke-welcome-an inilah yang membuat saya nyaman berada di SLB tersebut. Saya berjanji akan datang untuk observasi pada hari Rabu, tanggal 28 April 2010, pukul setengah 8. Namun, sekali lagi, karena saya adalah warga negara Indonesia yang baik dan menjunjung tinggi kemoloran, baru pukul 8 pagi saya masuk kelas anak autis. Dengan didampangi Bapak Solihin, pembimbing anak autis, saya masuk ke kelas dengan dag dig duer (tanpa Daia).
Namanya Yudith Abu Bakar Ali, biasa dipanggil Adith. Usianya 18 tahun. Daya konsentrasinya telah membaik. Dia mulai bisa menatap lawan bicara, mengurangi kebiasaan menggigit kuku, dan menyobek kertas. Bahkan, dia tersenyum pada saya yang masih asing baginya. Sangat menyenangkan. Kelas autis ada di lantai tiga. Saya pikir, kelas tersebut hanya khusus untuk Adith, tapi ternyata kelas tersebut merupakan kelas gabungan: autis dan tuna rungu. Namun ternyata lagi, kelas gabungan tersebut dibuat mendadak karena minggu depan SLB Yapenas akan mengadakan ujian akhir sehingga beberapa anak harus mengikuti latihan ujian. Nah, karena beberapa dari murid tunarungu telah mengikuti Ujian Akhir Nasional (mereka setara dengan anak kelas 3 SMP), hanya dua anak tuna rungu yang akan mengikuti Ujian Akhir Sekolah. Mereka itu Elina dan Sundari sehingga mereka berdua bergabung dengan Adith dalam satu ruang kelas, tapi dengan soal yang berbeda tentunya. Elina dan Sundari tunarungu. Mereka setara dengan kelas dua SMP, sama dengan Adith. Seperti halnya Adith, mereka berdua juga tersenyum ketika melihat saya. Bagi saya, ini adalah sebuah pertanda baik karena ketika mereka tersenyum, mereka telah mengizinkan saya masuk ke dunia mereka dan menjadi teman mereka. Tiga puluh menit pertama, suasana sangat canggung. Apalagi berkali-kali bapak Solihin bertanya tentang rancangan proposal saya. Jujur, itu masih rancangan, Pak. Belum matang. Jadi masih blekak-blekuk gitu jawabnya T_T. Beberapa menit setelahnya, suasana menjadi cair ketika Elina dan Sundari berceloteh gaya mereka dan berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat. Ditambah, Adith yang sudah mulai menggunakan bahasa verbalnya sehingga perbincangan dengan bapak Solihin beralih seputar Adith dan anak autis. Dulunya, Adith suka sekali merobek kertas. Dia suka dengan suara sobekan kertas (hampir sama dengan saya yang suka mendengar suara kipas angin 
D
D
). Tampaknya, hobi menyobek kertas tidaklah berbahya, tapi bila ndak ditindaklanjuti, “hobi” ini akn terus meluas dan berbahaya bagi kertas orang lain. Mengenai bahasa verbal Adith: kebanyakan dia membeo. Ketika bapak Solihin memintanya untuk berjabat tangan dengan saya, Adith malah berkata, “jabat tangan… Asty…”. Juga ketika dia membaca sebuah paragraf, dia sering menyisipi kata “pintar”, “bagus”, dan “sip”. Kata bapak Solihin, itu semacam kebiasaan. Dalam proses pembelajaran, pembimbing sering memuji keberhasilan Adith dengan berkata “pintar, bagus, dan sip” sehingga Adith membeo — menyisipkan kata-kata tersebut ketika dia berhasil melakukan sesuatu. Suasana semakin menyenangkan ketika anak-anak tersebut beristirahat. Adith turun dan menemui teman baiknya, yang namanya juga Adit (setara dengan kelas tiga SMP), tapi tunagrahita. Kata bapak Solihin, Adith paling cocok berteman dengan Adit bawah. Entah kenapa. Selama jam istirahat, bapak Solihin menyilahkan saya untuk berjalan-jalan ke kelas sebelah, ke kelas tunarungu. Nah, di situlah saya mulai bisa mengakrabkan diri dengan anak-anak yang lain: Elina, Sundari, Tusi, Wahyu, dan Wahid.  Pembimbing mereka bernama bapak Lukmana. Seperti halnya bapak Solihin yang menjelaskan banyak hal tentang Adith, bapak Lukmana juga menjelaskan banyak hal tentang anak-anak tunarungu. Ternyata, Wahyu dan Wahid tertarik dengan kesenian, bahkan Wahyu berkali-kali menjadi juara pertama tingkat kabupaten Sleman dalam acara seni. Tusi dan Elina menjadi wakil sekolah untuk bidang tari. Banyak hal yang saya pelajari dari mereka. Awalnya, saya pikir mereka akan menutup diri dari saya yang mungkin mereka anggap sebagai manusia luar yang masih asing. Namun saya salah. Merekalah yang lebih dulu menjawil saya dan mengajak ngobrol saya. Mereka tahu saya tidak mengerti apa yang mereka ucapkan. Lalu, saya melihat Sundari membawakan saya buku tebal yang ternyata semacam “kamus” bahasa isyarat. Mulailah mereka duduk melingkari saya dan mengajari saya beberapa bahasa isyarat: abjad, saya, makan, sekolah, pergi, nari, rusak, dan lain-lain.
Rasanya sangat menyenangkan. Sebuah dunia yang benar-benar baru bagi saya.
Menjelang pukul setengah sebelas, suasana semakin menyenangkan. Wahyu dan Wahid berpantonim ria — berlatih untuk acara pembukaan sebuah SLB di Wonosari besok, ditambah dengan mulai berbaurnya Adit dengan anak-anak tunarungu. Lalu, acara untuk berfoto pun selalu ndak ketinggalan. Bapak Solihin mengajak Adith untuk ikud berfoto, “Yuk Dit, ikud berfoto.” Dengan sigap, Adith menjawab, ” Yuk Dit..berfoto…iya, Adit foto…” Mulailah kami berpose..dan jepret… 
D
D
Kesenangan ndak berhenti sampai di situ. Lalu datanglah Reza — anak tunagrahita, dan Bertus — anak tunarungu (setara kelas 5 SD). Bersama mereka, saya kembali mempelajari bahasa isyarat.
Saya sempat khawatir bila kedatangan saya mengganggu proses belajar mengajar mereka. Namun, bapak Solihin menjelaskan, “Ndak papa, kok, mbak…. Ini kebetulan juga kegiatan belajar mengajar sudah selesai. Kan minggu depan ujian. Lagipula, anak-anak sudah capek latihan untuk acara pembukaan SLB baru besok.” Huft…legaaa…. Bukannya apa, saya hanya takut saya akan digunjingkan mereka sebagai “Mbak-mbak UGM yang seenaknya sendiri ketika mengambil data”. Pukul dua belas tepat. Mereka bersiap diri untuk pulang, kecuali Wahyu dan Wahid. Mereka harus membersihakn ruangan kelas. Kata bapak kepala sekolah, mereka memang sengaja ditugasi layaknya cleaning service agar ketika mereka lulus nanti, mereka memiliki pengalaman kerja (mereka berdua sudah dewasa, 22 tahun). Jadi bukan menghina. Okeee deh, pak…. Huft…dengan pulangnya mereka, berakhir sudah acara observasi saya mengenai anak autis di SLB Yapenas. Namun, bukan berati saya ndak akan kembali lagi ke SLB tersebut. Pada hari Jumat, saya kembali lagi untuk memberikan sedikit “bingkisan” sebagai ucapat terima kasih. Begitulah. Bertemu hal-hal baru memang menyenangkan, apalagi bila hal baru itu menimbulkan kesan yang terpatri kuat dalam memori. Begitu membaca ulang tulisan saya ini, saya amat sangat nian ingin sekali bertemu mereka lagi. Doakan saja, saya segera mendapat dosen pembimbing dan beliau meng-acc judul saya sehingga akan ada Cerita dari Negeri yang Jauh part 2, 3, 4... 100 :D.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun