Sikap Ahok terhadap anggota DPRD DKI Jakarta patut diancungi jempol. Jarang bahkan belum ada kepala daerah menentang para wakil rakyat. Biasanya, eksekutif-legislator tegang di permukaan, tetapi mesrah di belakang layar. Karena mereka berada dalam sistim. Tentu mereka saling menopang masing-masing kepentingan - baik kepentingan umum maupun pribadi.
Membangkang anggota DPRD merupakan langkah berani. Hal ini pernah dilakukan oleh Ray Fernnades, Bupati TTU. Sikap Ahok dan Ray - meski beda kasus - terkesan kasar. Tidak santun. Namun, dalam lingkungan sistem yang korup, pemimpin harus melawan. Tampil terdepan. Keras. Bila perlu kasar.
Kita lupakan tentang perilaku Ahok dimata sejumlah musuh tidak santun atau tidak waras. Polemik ini membuka mata dan pikiran kita. Praktek-praktek di lingkup birokrasi dan legislatif. Fakta yang mungkin masyarakat sendiri tidak pernah atau memang tidak mau tahu.
Bukan rahasia lagi, goal atau tidak program kerja bargaining antara eksekutif dan legislatif. Eksekutif yang menghendaki programnya diterima, maka harus menempuh perjuangan secara mental dan finansial. Tidak mengejutkan jika ada intrik kepentingan yang terbungkus rapih. Lobi anggaran dan sebagainya. Mungkin juga ada mafia anggaran.
Itulah yang terjadi di DKI. Tak terkecuali di propinsi dan kabupaten seluruh negeri ini. Jika hal itu yang terjadi, pertanyaannya, untuk siapakah program kerja dan anggaran yang diusulkan?
Perumusan program harus melalui tahap analisis kebutuhan setelah melihat fakta masalah di masyarakat. Itu artinya orientasi program ditujukan kepada pihak yang dilayani (masyarakat). Tetapi, realitas yang terjadi program kerja berorientasi 'profit' bagi penyusun dan pengesah anggaran (baca: eksekutif dan legislatif).
Melalui proses analisis kebutuhan mengarahkan penyusun bahwa program itu sebagai kebutuhan, bukan keinginan. Program yang dibuat berdasarkan kebutuhan tentu berasal usulan, masukan, atau masalah obyek yang dilayani. Kajian yang matang.
Program yang didasarkan keinginan akan cenderung subyektif. Terselip kepentingan pihak-pihak yang terkait. Orientasi profit terbalut dalam program yang asal-asalan. Kejar fee, jalan dinas, dan sebagainya.
Ahok hadir di saat yang tepat. Menelanjangi praktek-praktek siluman di lingkungan birokrasi dan eksekutif. Praktek terselubung yang memanfaatkan kontrol rakyat (kecuali PNS) yang lemah. Banyak program asal-asalan. Disusun untuk sekedar rutinitas tahunan. 'Copy paste' program dari tahun ke tahun. Kejar keuntungan. Sementara rakyat membutuhkan peningkatan pelayanan.
Program harus berorientasi kebutuhan dan skala prioritas. Urgen dan tidaknya. Tentu penyusunan dan pembahasan pun harus transparan. Itulah yang dikehendaki Ahok, semata-mata untuk rakyat, kaum yang dilayani.
Perseteruan Ahok-anggota DPRD DKI menarik untuk disimak dan dibedah serta direfleksikan. Menarik disimak karena Ahok sosok fenomenal yang berani melawan arus kemapanan sistem yang korup. Mana ada pemimpin yang berani seperti dia. Berani kehilangan jabatan dan kehormatan.