[caption id="attachment_368286" align="aligncenter" width="221" caption="(Photo:FB/Barisan Rakyat Pendukung Jokowi Presiden)"][/caption]
Blusukan telah menjadi label kepemimpinan Jokowi. Menjadi ciri kuat Jokowi dalam membangun interaksi dengan masyarakat. Postur tubuhnya yang ramping dan gerakannya yang lincah, ia mampu menelusuri lorong dan turun di selokan nan sempit. Gaya bebasnya terjun di masyarakat menampakkan Jokowi jauh dari sosok yang protokoler. Ia menjadi dirinya. Dirinya yang apa adanya.
Blusukan dipandang negatif berbagai kalangan karena dinilai sebagai wujud pencitraan diri. Sejalan dengan waktu, blusukan menjadi karakter yang melekat pada diri Jokowi. Tidak heran, Mark Zuckeberger, CEO Facebook, terinsipirasi untuk mengembangkan aplikasi e-blusukan.
Terlepas apapun tanggapan negatif orang terhadap gaya blusukan Jokowi, penulis mencatat beberapa hal positif. Pertama, blusukan meretas jarak antara pemimpin dan rakyat. Banyak pemimpin yang dekat dengan rakyat pada saat musim kampanye. Setelah duduk di tampuk kekuasaan, secara perlahan menciptakan jarak dengan rakyat. Senyum pun tidak ketika ia berpapasan dengan rakyat. Membunyikan klakson pun tidak ketika ia duduk di dalam mobil. Bertemu dengan rakyat jelata di kantornya pun enggan. Ada-ada saja alasannya melalui kaki tangannya (staf).
Blusukan menghadirkan pemimpin secara nyata di tengah-tengah rakyat. Ia ada untuk rakyat. Bukan rakyat ada karena dia. Kenyataan dewasa ini pemimpin menjadi asing di tengah masyarakat. Lambat laun ia tumbuh menjadi pemimpin yang angkuh dan gila hormat.
Kedua, blusukan mematahkan tradisi protokoler yang kakuh. Pada jaman Soeharto, salah satu era yang sangat mendewakan protokoler. Rakyat yang bertemu Soeharto dalam acara tertentu sudah ditentukan. Bahkan pertanyaan-pertanyaan pun sudah disiapkan oleh panitia. Masyarakat hilang keasliannya. Semua penuh dengan kamuflase. Berbeda dengan gaya blusukan, interaksi Jokowi dan rakyat berlangsung alamiah. Tidak ada kepalsuan.
Ketiga, blusukan adalah gaya pemimpin yang bertipe 'thomas'. Thomas, dalam naas Alkitab, adalah salah satu murid yang belum percaya akan kebangkitan Yesus Kristus selama ia belum dapat membuktikan dengan mencucurkan jarinya ke dalam lambung Yesus yang terluka oleh tikaman tombak serdadu.
Dalam konteks alkitabiah, sosok Thomas adalah sosok yang imannya rapuh. Ia tidak akan percaya, jika ia belum melihat. Padahal iman melampui dimensi kemanusiawian kita. Melihat dengan mata saja belum cukup. Kita butuh kemampuan lain. Melihat daya ilahi dengan mata iman.
Dalam scope leadership,karakter seperti Thomas mutlak dibutuhkan dalam rangka memerangi lip service bawahan. Dewasa ini, pemimpin mudah terbuai oleh laporan asal bapak senang dari bawahan. Pemimpin kerap terkecoh oleh laporan yang rapih. Kenyataan, balik sampul yang ekslusif membungkus kepalsuan. Lain di mulut, lain kenyataannya.
Blusukan menjadi jalan yang tepat. Pemimpin tidak boleh mudah percaya pada laporan bawahan. Pemimpin harus membuktikan kebenaran secara langsung di lapangan. Untuk menemukan fakta antara laporan dan kenyataan.
Jokowi telah memberikan role kepimpinan baru. Blusukan. Siapapun dapat menirunya. Mulai dari pemimpin level organisasi manapun - pemerintah maupun swasta. Karena blusukan tidak sekedar jalan-jalan tanpa perubahan. Blusukan menjanjikan perubahan. Ikutilah jejak kepemimpinan ala Jokowi. The Jokowi Way. ***(gbm)