Sikap dan pengunduran diri Ahok menuai protes dan pujian. Ahok dilabeli sebagai Si Maling Kundang, legenda Sumatera Barat, yang diriwayatkan sebagai anak durhaka. Maling Kundang durhaka kepada ibu yang melahirkan dan membesarkannya. Sementara Ahok durhaka kepada Gerindra, partai yang membesarkannya.
Kisah Maling Kundang dan Ahok boleh saja sama (tentang durhaka), namun berbeda dalam konteks dan tujuan. Maling Kundang sangkal ibunya karena kemiskinan. Perawakan ibu bertolak belakang dengan kondisinya yang kaya raya. Sedangkan Ahok, ia durhaka terhadap kebohongan, ketidakadilan, kemunafikan, dan ketidakbenaran yang mewabah di partainya atau di negeri ini.
Ahok memang lahir sebagai pemimpin ber-mainstream unik di jaman ini. Lugas, tegas, blak-blakan. Ia jauh dari sikap atau pernyataan diplomatis. Jujur. Apa adanya.
Ternyata sikap Ahok mengusik orang di sekitarnya. Mereka yang anti pembaharuan. Kata-katanya sangat tidak menyenangkan bagai sembilu yang mampu melukai perasaan orang lain. Sembilu yang memicu kebencian, permusuhan, atau dendam kusumat. Haji Lulung misalnya, secara terang-terangan telah menabur genderang perang, mencap Ahok gila, dan mengancam untuk membinasakan karier Ahok.
Menuju perubahan, Ahok harus berani melawan arus. Ia harus tampil lain (baca: gila). Kegilaan juga dapat memicu perubahan tatkala kebanyakan orang merasa aman-aman (nyaman) dengan kondisi yang itu-itu saja.
Membaca pikiran atau tulisan tentang Ahok harus komprehensif. Kita tidak bisa memenggalnya per kata dan paragraf. Membaca pikiran Ahok, kita harus membaca utuh seluruh pikiran dan perilaku sebagai naskah yang utuh. Seorang sahabat facebook pada perjumpaan "kopi darat" yang pertama kali mengungkapkan dengan istilah "membaca dengan hati".
Membaca dengan hati kita harus memposisikan diri sebagai pembaca dan penulis (pembicara/penutur). Kita harus menjadi subyek dalam naskah itu. Jika kita masih membuat sekat di antara keduanya (antara pembaca dan penulis), kita tidak menemukan makna postif apa-apa. Kita akan merasa sebagai pihak yang 'tersakiti' oleh ucapan, pernyataan, dan tulisan orang tersebut. Lantas kita gampang tersinggung dan berupaya menjegalnya. Padahal tujuan pernyataan atau tulisan tersebut tidak bermaksud untuk menyerang orang per orang melainkan sistem yang tidak mengayomi rakyat.
Membaca dengan hati berarti kita berempati dan bersimpatik dengan orang lain. Kebahagiaannya, kebahagiaan kita. Penderitaannya, penderitaan kita. Ahok tidak sedang berjuang untuk dirinya. Ia berjuang untuk rakyat. Hakekatnya, penderitaan rakyat, penderitaannya. Kebahagiaan rakyat, kebahagiaanya. Yang pasti jabatan apapun tidak membuat jarak; presiden dengan rakyatnya, atasan dengan bawahannya. Ahok adalah cermin pemimpin yang tidak hanya MERASA MAMPU (kompetensi), ia juga MAMPU MERASA (memimpin dengan hati). Apa saya, anda, kita seperti Ahok? Kita harus bertolak lebih dalam ke dasar samudera hati kita masing-masing untuk menjawab pertanyaan ini. Salam. ***(gbm)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H