Saat munculnya nama Mahfud MD sebagai calon wakil presiden mendampingi Ganjar Pranowo, banyak yang tidak kaget. Namanya dan beberapa nama lain seperti Erick Thohir, Sandiaga Uno, dan Ridwan Kamil, telah santer disebutkan di media massa sebagai calon potensial untuk menjadi cawapres baik di kubu Prabowo maupun kubu Ganjar.Â
Namun, akhirnya Mahfud dipilih oleh Megawati Soekarnoputri dan pemimpin partai lain yang tergabung dalam koalisi.Mahfud MD bukanlah nama yang asing di dunia politik.Â
Ia pernah menjadi calon wakil presiden terkuat untuk mendampingi Joko Widodo pada pemilihan presiden 2019. Namun, situasi berubah dan posisi calon wakil presiden bergeser kepada Ma'ruf Amin.Â
Namun, terpilihnya Mahfud sebagai pendamping Ganjar Pranowo kali ini merupakan kesempatan yang terunda. Seperti pepatah yang mengatakan, "Namanya jodoh tak akan lari kemana-mana. Cepat atau lambat, akan melenggang ke pelaminan juga."
Terpilihnya Mahfud MD ibarat naik kelas dalam sebuah jenjang pendidikan. Ia naik kelas, tentu melewati semua tahapan ujian hidup.Â
Seseorang disebut naik kelas jika ia telah berproses dari tingkatan atau kelas tertentu menuju tingkatan atau kelas yang lebih tinggi. Siapa yang meragukan kapasitas Mahfud MD? Seorang mantan pengacara, dosen, hakim MK, bahkan menteri.
Semua jabatan itu ia lalui. Jabatan-jabatan itu ibarat kelas-kelas yang diikuti oleh Mahfud MD. Ia digembleng oleh sebuah tanggungjawab yang mematangkan dirinya.
Ketika ia diusung menjadi calon wakil presiden yang mendampingi Ganjar Pranowo, itu merupakan momentum ia naik kelas. Karena ia layak naik kelas menjadi seorang calon wakil presiden berdasarkan pengetahuan, wawasan, pengalaman, dan kepribadiannya yang matang.Â
Apa yang dialami oleh Mahfud MD mengajarkan kita tentang hakikat hidup yang sesungguhnya, bahwa hidup itu berproses dari satu jenjang ke jenjang lain. Proses panjang mematangkan seseorang.Â
Mahfud melewati berbagai jabatan strategis yang memperkaya dirinya, dan itulah yang menjadi alasan para pemimpin partai yang memilihnya.
Sejatinya manusia butuh proses pembelajaran, tidak instan. Tidak pula hanya melalui kelas akselerasi, apalagi didukung oleh relasi kekuasaan.