Kebesarannya tak menyebabkan dirinya angkuh dan apalagi melupakan orang-orang atau pihak yang telah berjalan bersamanya dalam mewujudkan impiannya.
Tak dipungkiri, selain ayahnya, Barcelona adalah dibalik kesuksesannya meraih impian. Di tangah Barcelonalah, Messi dirawat hingga akhirnya vonis masa kecil yang dijatuhkan padanya berlalu.
Ia tumbuh normal dan bahkan menjadi pemain besar. Itu sebabnya, Messi memilih bertahan untuk mengabdi pada Barcelona.Â
Sepak bola bukan hanya soal mencari tantangan pada liga yang berbeda demi membuktikan diri sebagai Greatest of All the Time (GOAT), lebih dari tentang loyalitas.Â
Messi bukan sosok bak kacang lupa kulit. Messi tahu diri, ia bisa karena Barcelona. Baginya, prestasinya adalah akibat dari kinerjanya di lapangan hijau, loyalitas nomor satu.
Itulah yang ditunjukkannya hingga detik-detik perpisahannya dengan Barcelona. Perpisahannya bukan karena keduanya (Barcelona dan Messi) tidak saling setia lagi atau Messi tidak loyal lagi, keadaanlah (regulasi La Liga) yang tak memungkinkan Messi bertahan sementara ia harus terus meniti karier menjelang masa pensiunnya.
Dan, ingat, loyalitas Messi tak hanya ditunjukkan kepada Barcelona yang 'membesarkannya' (sebagai klub dan tim), pula kepada kepada istri dan tiga putranya.
Ketiga, Messi lebih dari sebagai seorang kapten (captain).
Tak semua pemain menjadi kapten. Dari sekian banyak pemain yang dimiliki klub, mungkin hanya 2-3 orang yang berpotensi menjadi kapten.
Menjadi kapten pasti memiliki syarat. Syarat itu adalah jiwa kepemimpinan. Ke(pemimpin(an) adalah roh dari tim. Ia mampu menggerakan anggota tim, membakar daya heroik tim dan menjadi suri tauladan tim.
Dalam pengamatan penulis, Messi tak sekedar kapten yang bertugas hanya di lapangan hijau selama 2 x 45 menit plus ekstra time. Ia adalah pemimpin bagi tim di dalam dan luar lapangan. Seorang kapten hanya berbicara dan memperhatikan anggota tim seputar permainan sepakbola, tetapi seorang kapten yang berkarakter pemimpin peduli (care) dengan pemain hingga di luar lapangan.