Para pemain dan mantan pemain Barca pun merasa kehilangannya tertangkap dari status media sosial mereka. Entah, di sudut lain di muka bumi, penulis yakin banyak orang mengalami hal yang sama -- bagi mereka yang mengagumi dan mengidolakan Messi dan Barcelona.
Dua perasaan di atas, entah tangis yang menyayat hati maupun suka yang terpancar dari senyum sumringah, semuanya menggambarkan suasana bathin atau perasaan yang sama. Perasaan itu adalah mencintai - mencintai Messi.
Pangkalnya adalah cinta. Kalau bukan cinta untuk apa orang harus bercucuran air mata, berkeringat dan suara berserak karena berdemonstrasi di depan markas Barcelona.
Cinta itu bukan tanpa alasan. Seperti hal seorang pria memiliki seribu alasan untuk mencintai seorang wanita.
Memang kata cinta kerap dipakai sebagai alasan yang paling general untuk menyatakan perasan atau emosi kita kepada seseorang tapi cinta bukanlah sesuatu yang abstrak dan bukan sesuatu yang atomik -- tidak dapat diuraikan lagi maknanya.
Cinta pasti punya sejuta turunannya seperti halnya ketika kita bertanya pada diri kita, "Mengapa saya mencintai Messi?" Cinta harus mampu melebur lalu menyatu.
Cinta bukan hanya urusan romantika dua insan manusia -- pria dan wanita. Cinta sesuatu yang universal tanpa sekat atau batas status sosial, agama, etnis dan jenis kelamin.
Tentang cinta orang kepada Messi, tentu memiliki beribu alasan, tapi penulis memiliki alasan tersendiri, bersyukur jika alasan-alasan ini pula dimiliki oleh para pembaca.
Pertama, Messi adalah sosok yang mampu keluar dari keterbatasannya (baca: difabel) karena mimpi (dream) yang besar.
Seorang difabel tak selamanya disematkan kepada mereka yang kakinya lumpuh, tangannya diamputasi, atau tuna wicara saja.