Mohon tunggu...
Giorgio Babo Moggi
Giorgio Babo Moggi Mohon Tunggu... Lainnya - Pembelajar yang tak berhenti untuk menulis

Dream is My Life's Keyword.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Mendorong Keterwakilan Perempuan, Menggerus Politik Paternalistik

20 April 2019   18:03 Diperbarui: 20 April 2019   18:12 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : Maria Rosalinda teku, SE - Caleg Partai Nasdem Kota Kupang Dapil Oebobo

Secara proporisional, angka di atas telah memenuhi kuota 30 persen caleg perempuan seperti yang diatur dalam Undang-Undang Pemilu.  Tapi, bagi penulis, pencapaian itu bukan menjadi ukurannya. Ukurannya adalah seberapa banyak kaum wanita yang pada kahirnya duduk di kursi dewan?

Regulasi tak hanya menjamin partisipasi wanita sebanyak 30 persen menjadi caleg, regulasi juga harus mendorong bagaimana kaum hawa sungguh-sungguh duduk di dewan atau benar-benar mendekati kuota tersebut.  Bagaimana caranya? Ya, perlu regulasi yang mengatur  dalam perhitungan suara. Suara caleg perempuan dan caleg laki-laki harus dipisahkan. 

Perempuan bersaing dengan perempuan, laki-laki bersaing dengan laki-laki. Itu idealnya. Sehingga kuota benar-benar mencapai sasaran jika kita menghendaki ada keterwakilan perempuan di dewan. Secara teknis perhitungan dapat dilakukan dan diatur dalam sebuah regulasi, asalkan ada itikad semua pihak untuk menuju sebuah perubahan.

Usulan ini tampak diskriminatif. Membedakan caleg  lelaki dan caleg perempuan. Dalam kacamata penulis  langkah ini lebih adil dan bijak sehingga wanita benar-benar mengisi hak atau kuota keterwakilan di dewan. Bukankah regulasi kuota 30 persen dalam Undang-Undang Pemilu sudah diskriminatif adanya? Jika persoalan kesetaraan gender tidak lagi menjadi problem, maka aturan tersebut tiadakan saja.  Jika aturan itu masih ada, maka perlu langkah besar agar kuota 30 persen  caleg perempuan  juga menjadi  kuota  anggota dewan perempuan.

Penulis percaya, seperti halnya di dapur rumah tangga, wanita selalu memainkan peran dan memikirkan hal-hal yang kecil hingga  yang besar, telaten, dan sabar, maka saya yakin hal yang sama terjadi pula di dapur politik. Ini hanya analogi sederhana. Sejatinya, secara kodrati wanita lebih kuat daripada pria. Lantas, mengapa kita tak beri keterwakilan perempuan di dewan dalam proporsi yang lebih besar? Hanya dengan cara ini kita memberikan kaum perempuan untuk berekspresi politik seluas-luasnya.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun