Perempuan dan Dapur Politik". Tulisan tersebut merupakan keterpanggilan penulis untuk mendorong partisipasi kaum hawa untuk terlibat aktif dalam politik praktis.
Menjelang Pemilihan Umum tahun 2014 yang lalu, penulis pernah membangun sebuah opini berjudul "Tulisan ini didasari oleh kadaan politik Indonesia yang maskulin dan feodalistik. Kondisi ini tentu membosankan. Lantas penulis menginginkan hadirnya kaum hawa diantara dominasi politik yang maskulin ini.
Keinginan penulis kala itu semakin terbuka. Peluang perempuan untuk berpolitik semakin lebar karena didukung oleh regulasi. Memang harus ada keharusan secara regulasi yang mengatur pencalonan perempuan dalam lembaga legislatif. Tidak boleh tidak. Jika tidak demikian, keberanian perempuan tergerus.
Penulis memandang kuota 30 % caleg perempuan merupakan regulasi yang tepat dan memupuk kepercayaan diri kaum perempuan. Belum lagi perubahan perhitungan suara yang tak lagi berdasarkan nomor urut. Siapa yang bekerja, siapa yang berhak menduduk kursi milik rakyat itu. Siapa yang memperoleh suara terbanyak, dialah yang berhak duduk di dewan sana. Â
Memang pada akhirnya, kuato 30 % caleg perempuan tidak sertamerta menghasilkan 30 % perempuan yang duduk dewan paska pemilihan legislatif. Angka ini sangat bergantung pada hasil pemilihan. Paling tidak ada celah bagi perempuan untuk berkompetisi meskipun peluang kemenangan itu relatif.
Sebenarnya, tak sulit bagi seorang perempuan untuk memenangkan pertarungan politik secara langsung "jika dan hanya jika" semua perempuan memiliki kesadaraan dan rasa solider terhadap kaummnya. Secara statistik pemilih perempuan lebih banyak daripada pemilih laki-laki. Maka tak ada yang mustahil perempuan dapat menguasai kursi legislatif sebanyak-banyaknya. Pertanyaannya, apakah kaum perempuan berpikir demikian?
Jawabanya, tidak! Terpilih atau tidak seorang caleg perempuan sangat ditentukan oleh pola pikir atau sudut pandang pemilih. Masih banyak yang beranggapan kaum hawa hanyalah pelengkap derita. Masih banyak yang berpandangan wanita lemah fisik dan mental sehingga tak mampu menghadapi dunia politik yang keras.
Pandangan-pandangan tersebut sebenarnya sebuah perangkap yang dibangun oleh masyarakat yang berdampak pada jatuhnya rasa kepercayaan diri kaum hawa. Pandangan-pandangan itu bertolak dari nalar konservatif yang menempatkan wanita selalu di belakang layar. Entah itu sebagai ibu rumah tangga, juru masak dan sebagainya. Hanyalah kaum pria yang duduk di ruang tamu (baca: terdepan).
Masyarakat lupa. Pujian tak akan datang kepada tuan rumah atas makanan yang lezat, sambutan yang hangat, jika tak ditopang oleh kaum wanita. Seorang suami mungkin duduk di ruang tamu dengan gagah berani serta penuh kewibawaan, bagaimana mungkin tamu mendapatkan kesan yang baik bila sang istri tidak menyajikan hidangan bagi tamu yang datang ke rumahnya.
Dapur politik itu diibaratkan dengan dapur rumah tangga meskipun kenyataan dapur rumah tangga tentu berbeda dengan dapur politik. Wanita cenderung 'legowo' dengan suami dalam urusan dapur rumah tangga. Namun dalam dapur politik, baik sang suami maupun istri memiliki peluang yang sama.
Lantas, bagaimana perempuan dalam Pileg 2019? Menurut catatan Kompasiana, Â sekitar 7.968 orang yang tercantum dalam daftar caleg, Â 3.194 orang diantaranya adalah caleg perempuan, sisanya caleg laki-laki. Ini menggambarkan perkembangan yang positif. Â