Hoaks atau berita bohong menjadi konsumsi yang super lezat belakangan ini. Di negeri tercinta ini. Hoaks menjadi menu olahan yang menggoda lidah masyarakat untuk mengecapnya. Sementara pribadi dan kelompok pencipta hoaks pandai menciptakan menu-menu hoaks baru yang siap disaji. Lantas hoaks ini menjadi hidangan super lezat yang begitu mudahnya disantap oleh rakyat jelata juga kaum terdidik, politisi, hingga tokoh negara.
Salah satu hoaks terbesar yang memakan korban adalah kisah "oplas" Ratna Sarumpaet. Indonesia digegerkan dengan kebohongan di balik lebam wajahnya. Membungkusnya secara rapih kejadian yang sesungguhnya, lalu mereka melemparkan tuduhan sebagai sang teraniaya.Â
Berbagai opini dibangun untuk menarik simpatik publik. Saat itu, hampir semua orang mengutuk tindakan pelaku tindakan kekerasan. Sedikit yang menaruh curiga di balik drama seniman teater ini, ada peristiwa ini by design.
Kebenaran terungkap. Pihak-pihak yang menaruh simpatik. Melakukan press conference segala mengaku dikorbankan dan dibohongi oleh Sarumpaet.  Bila merunut jalan ceritanya, kasus Ratna Sarumpaet merupakan berita yang menguras energi tak habis pikirnya begitu banyak cendekiawan sekelas Amiens Rais, Fadli Zon, Fahri Hamsah hingga  Prabowo Subianto bisa termakan hoaks.
Hoaks bukan hal baru di dalam kehidupan masyarakat. Tapi belakangan ini hoaks menjadi trending topic sejak konstelasi politik beberapa dekade terakhir.Â
Dalam masyarakat lokal, Manggarai misalnya, hoaks dikenal secara "sipit-sipit" atau lebih kurang disebut dengan joak. Cerita yang melebih-lebihkan tanpa ada unsur kebenaran atau mengarang cerita semau bebas pencerita atau penutur. Orang yang berbicara  joak tak sampai membuat tipuan massal. Tak ada joak yang sampai menyulut emosi masyarakat -- sebatas dua atau tiga orang yang mendengar ceritanya.Â
Di Indonesia, hoaks menjadi propaganda politik. Dari hari ke hari hoaks terus diciptakan. Meme-meme dibuat. Tulisan-tulisan dibuat. Drama-drama diciptakan dan difilmkan kemudian disebarkan. Demi hasrat politik dan kekuasaan, konten-konten yang dibuat "dipaksakan" untuk memenuhi tuntutan kelompok tertentu. Video diedit. Tulisan dikutip sebagian. Banyak macam cara dilakukan. Hoaks menjadi progranda politik yang murah meriah dan  disebarkan secara masif pula melalui media sosial.
Mengapa hoaks menjadi sarana yang rentan progranda politik? Para pencipta hoaks dan pendukung dibalik kepentingan hoaks itu diciptakan sadar bahwa mayoritas masyarakat Indonesia rentan dipecah-belah oleh informasi sesat. Mereka tahu mayoritas masyarakat Indonesia mudah diprovokasi. Mengapa masyarakat Indonesia rentan terhadap serangan hoaks? Â Di sini, penulis melihat ada 3 titik lemah di masyarakat itu sendiri.
1# Budaya literasi di Indonesia lemah
Persepsi penulis, literasi itu mencakup semua aspek; membaca (reading), menulis (writing), mendengar (listening) dan berbicara (speaking). Literasi tak hanya merujuk pada aktivitas membaca. Memang tak salah juga. Karena membaca itu menjadi akar dari semua aspek yang disebutkan di atas.
Dengan orang membaca, ia belajar menulis, membiasakan diri mendengar dan melatih diri berbicara. Jadi, membaca merupakan skill yang komplit. Sekali mendayung, 2-3 aspek terlampaui.