Usai menundukkan Argentina di babak penyisihan Piala Dunia 2018, publik sepakbola mulai meramalkan Kroasia menembus final. Prediksi tak cukup hanya menilai dari kemenangan mereka atas tim tangguh Amerika Selatan ini. Â Tapi hasil lain dari laga mereka di babak penyisihan memperkokoh prediksi itu.
Kroasia memetik poin penuh dari tiga laga di babak penyisihan. Argentina, Nigeria dan Islandia tunduk dari pasukan Kroasia. Kemenangan berlanjut di babak 16 besar. Kroasia membuyarkan mimpi Denmark. Joergensen dan kawan-kawan tak berkutip di hadapan pasukan Kroasia di bawah pimpinan jendral lapangan Luca Modric.
Perjalanan sukses Kroasia berlanjut. Di babak delapan besar, Kroasia membunuh asa tim tua rumah yang tampil 'sumringah' di awal babak karena unggul sementara. Kroasia membuat rakyat Rusia meneteskan air mata usai laga dramatis tersebut.
Kisah kesuksesan Kroasia tak berhenti di situ. Tadi dini hari, publik sepak bola dibuat terhenyak. Kroasia mengandaskan Inggris yang justeru dijagokan banyak kalangan pengamat sepakbola sebagai kandidat juara Piala Dunia 2018.
Perjalanan Kroasia di Rusia patut ditelusuri dan diteladani. Betapa tidak! Mereka berjalan mulus di babak penyisihan. Meraih kemenangan penuh atas klub yang memiliki reputasi internasional seperti Argentina. Di babak-babak berikut, langkah Kroasia agak tersendat-sendat. Luca Modric dan kawan-kawan justeru selalu tertinggal lebih dahulu.
Pasukan Dalic tetap tampil tenang dan agresif seperti biasanya hingga titik akhir perjuangan. Dan, perjuangan mereka tak ada yang sia-sia. Kemenangan demi kemenangan diraih dalam situasi yang genting sekalipun melalui drama adu penalti.
Kisah kesuksesan Kroasia sejauh ini memiliki cerita sendiri. Unik. Patut disimak. Terlepas dari kemampuan individu dan kualitas tim yang tak dapat diragukan, peranan pelatih sangat menentukan. Pelatih menjadi 'jembatan' yang menghubung antara satu pemain dengan pemain yang lainnya. Baik itu melalui komunikasi dan meracik strategi hingga memuwujudkan kekompakan tim.
Kisah pelatih Kroasia, Zlatko Dalic, mengingatkan kita pada adagium Latin klasik, "ora et labora" -- bekerja dan berdoa. Bermain sepak bola saja tidak cukup. Hasil nyata dari sebuah permainan dapat dilihat secara kasat mata. Jika pemain bermain bagus, hasilnya bagus. Pemain bermain buruk, hasilnya pun buruk. Tapi dampak dari doa? Sulit dibuktikan secara langsung dengan mata biasa, kecuali dengan "mata iman".
Implementasi adagium ini bukan terjadi baru kali ini. Bukan pula dilakukan oleh  pelatih Kroasia saja. Hal itu sudah lama terjadi sejak sepakbola ada. Atau apapun pekerjaan yang kita lakukan, doa menjadi tak terpisahkan dalam kehidupan insan beriman. Berdoa menjadi permulaan dan akhir dari segala aktivitas.
Di sepakbola misalnya, para pemain yang beragama Katolik selalu mengawali dengan "tanda salib" saat memasukan lapangan atau merayakan gol seperti apa yang dilaukan oleh Lionel Messi. Atau pemain beragama Islam melakukan sujud syukur usai mencetak gol seperti yang dilakukan Mohamed Salah. Ada banyak cara pemain yang beriman lakukan dengan beragai 'ritual' lapangan hijau yang bernuansa religi sesuai dengan iman dan kepercayaan masing-masing.