Liburan Idul Fitri saya kali ini merupakan sesuatu banget. Tiga hari, tiga destinasi dijelajahi sebelum berakhir di kampung halaman. Saya menyebut sesuatu banget karena pertualangan ini muncul secara spontan. Tanpa rencana matang sebelumnya. Sementara saya sendiri memiliki agenda lain untuk mengisi liburan yang kemudian tak dapat dieksekusi. Mengesankan!
Kisah-kisah perjalanan saya sudah ditulis di media ini. Perjalanan saya ke Pulau Semau yang mendebarkan hingga akhirnya jatuh cinta dengan pesona Pantai Liman. (Baca : Ketika Aku Jatuh Cinta Dengan Sang Bidadari dari Pulau Semau). Benar-benar pengalaman yang luar biasa. Melewati lorong medan nan berat di tengah malam yang pekat. Tanpa disadari perahu motor memulangkan kami ke Tenau Kupang. (Baca: Terobos Lorong Malam, Sisir Selatan dan Barat Pulau Semau hingga Terjang Gelombang Teluk Kupang).
Tak puas di air mata Baun, kami beralih ke spot wisata kuliner yakni se'i Baun yang terkenal itu. (Baca: Se'i yang Manjakan Lidah, Istana Raja Amarasi dan Pohon-pohon Raksasa yang Merayu Mata). Atau, pantai eksotik yang tersembunyi di dalam cekungan teluk yang lebar. (Baca: Tepian Surga yang Tersembunyi di Desa Erbaun).
Satu tulisan yang masih tersisa adalah perjalanan saya ke Fatuleu. Batu-raksasa-raksasa di Kabupaten Kupang. Tantangan di sini, anda harus melewati ratusan anak tangga dan kemudian melewati bongkah-bongkahan batu besar menuju puncak. Nantikan kisah ini pada kesempatan lain. He he he ...
Seperti saya singgung di awal, saya menutup liburan di kampung halaman. Ini juga tak direncanakan. Serba mendadak. Karena urusan penting. Saya naik Trans Nusa. Turun di Bandara Soa (Baca: Bajawa). Saya terlalu membuang banyak waktu di bandara. Penumpang lain mungkin sudah sampai tujuan, saya baru start menuju kota Bajawa. Setiba di kota, saya mampir di cafe langganan, Credo Caf. Tentang caf ini akan saya tuliskan khusus.
Maka saya menumpang ojek ke Terminal Watujaji. Hanya sebuah travel Ende parkir di tepi jalan dekat terminal. Sopir menawarkan jasa. Saya beritahu tujuan Mauponggo. Sopir pun diam. Ia menawarkan saya duduk di bangku depan kios. Katanya, angkutan ke Mauponggo sudah berangkat. Saya tetap pasrah menunggu.
Sepupu saya telepon bahwa mereka sedang menuju Mataloko. Kami janjian ketemu di sana. Nah, bagaimana cara kesana? Sebuah angkutan lewat Mataloko. Saya menghentikan kendaraan tersebut. Saat saya mau masuk angkutan, saya lihat ada ruang untuk satu orang. Space tersebut ada di belakang. Saya menyampaikan kesulitan saya  berjalan ke belakang kepada penumpang tapi reaksi  mereka diam saja. Mereka tak mau sorong -- istilah orang Flores untuk kata geser.  He he he.
Mayoritas penumpang adalah kaum hawa. Seorang pria tua duduk dekat pintu. Lainnya kernek atau konjak (istilah orang Flores). Saya putuskan duduk di dek angkutan di pintu masuk. Â Pria yang duduk dekat pintu tak bereaksi. Saya hanya dengar kasak-kusuk ibu-ibu. Mereka bilang kasihan dalam bahasa setempat. Pria itu sesekali bicara.
Saya sempat membathin, "Akh, bapak ini sulit sekali geser posisi duduknya."