Kita sering mendengar ucapan “dulu lebih baik, kok sekarang malah lebih buruk”. Atau “pemimpin dulu lebih baik, sekarang tidak”. Masih banyak ungkapan lain yang makna sama dalam percakapan sehari-hari.
Membanding-bandingkan adalah sifat dasar manusia. Sifat ini sering disalahgunakan untuk tujuan negatif. Menjelekkan satu sama lain. Contoh yang paling nyata adalah jelang Pilgub DKI. Orang beramai-ramai membanding-bandingkan pemimpin saat ini dan pemimpin sebelumnya-bahkan pemimpin yang jauh di belakangnya.
Rizal Ramli dalam wawancara di TV One mengungkapkan kekagumannya pada sosok Ali Sadikin, mantan gubernur DKI Jakarta di era 70-an. Secara implisit ia membandingkan Ahok dengan Ali Sadikin dalam pernyataanya. Katanya, Ali Sadikin, dengan ketersediaan dana terbatas, ia dapat membangun taman-taman yang bagus. Tapi, sekarang banyak uang, tetapi hasil pembangunan untuk segelintir orang saja. Masyarakat kecil tidak menikmati pembangunan.
Dalam konteks tertentu atau batasan tertentu, kita bisa membandingkan antara Ali Sadikin dan Ahok. Tapi tidak semua hal bisa dibandingkan. Kita harus mempertimbangkan kondisi existing masing-masing pemimpin.
Kondisi existing yang dimaksudkan adalah situasi atau kondisi pada saat pemimpin itu berkuasa. Kondisi keuangannya, sistem birokrasi, situasi sosial-politik, sistem birokrasi dan lain sebagainya. Hal itu bisa saja terjadi jika Ali Sadikin mampu membangun seperti yang dimaksudkan Rizal Ramli. Mungkin saja lebih mudah mengelolah uang yang terbatas daripada kelola uang yang berkelimpahan. Salah urus bisa terjebak dalam penyimpangan.
Kita bisa membandingkan antara satu pimpinan dengan pimpinan yang lainnya. Asalkan kita melakukan secara fair. Setidak-tidaknya objek atau hal yang dibandingkan sama. Juga mempertimbangkan era kepemimpinan sosok yang dibandingkan. Membandingkan Ahok dengan Fauzi Wibowo alias Foke masih wajar. Dari segi waktu (time frame) tidak terlalu jauh. Setidah situasi dan kondisi tidak banyak berubah.
Fairness juga harus ditunjukkan oleh cara kita memaparkan hal yang positif pemimpin yang dibandingkan, juga menunjukkan kekurangannya. Sehingga dimana pun posisi atau sikap anda; setidak-tidaknya anda harus adil dalam memberikan posisi secara both side. Sehingga bagi penulis, baik Ali Sadikin, Foke, maupun Ahok adalah pemimpin hebat pada eranya masing-masing. Memiliki kekurangan, kita juga tidak bisa mengabaikan kelebihan. Sayangnya, apa yang terjadi jelang Pilgub DKI 2017 kita sering menonjolkan sisi negatif Ahok dan menguburkan dalam-dalamnya kesuksesannya.
Barangkali kata-kata Sr. Virgula SSpS, seorang biarawati berkebangsaan Jerman, pendiri Pusat Rehabilitasi Kusta-Cacat Cancar, Manggarai, NTT, menjadi bahan permenungan di akhir tulisan ini. Sebelum meninggalkan anak-anak panti sebelum kembali dan menjalani masa pensiun di Steyl Belanda, ia meninggalkan pesan yang luar biasa dalam maknanya.
“Jangan katakan Suster Virgula dulu lain. Setiap orang punya gayanya masing-masing. Jangan suka membanding-bandingkan.”
Silahkan membandingkan antar pemimpin, tetapi lakukan secara both side atau dua sisi – artinya bedahlah dari sisi negatif juga aspek postif sang pemimpin. Jangan yang dilihat kejelekan lawan doang. *** (gbm)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H