[caption caption="Setya Novanto, Ketua DPR RI"][/caption]Catut-menantut bukan hal baru - telah menjadi 'makan minum' di negeri ini. Hal ini memjadi besar karena melibatkan tokoh nasional dari lembaga terhormat. Setya Novanto dari DPR RI.
Aib politik yang dilakukan oleh Setya Novanto hanyalah merupakan klimaks dari perbuatan catut-mencatut di negeri ini.
Memang. Apa yang dilakukannya tidak berdampak langsung kepadarakyat. Ia 'memeras' perusahaan besar. Perusahaan asing pula. Tapi dalam jangka panjang, rakyat akan merasakan akibatnya. Juga, menjadi wujud pendidikan politik yang tidak benar.
Dari berbagai aspek, Setya Novanto salah besar. Aspek wewenang, Setya Novanto melangkahi wewenang eksekutif (dalam hal lobi bisnis dan lain-lain). Aspek politik, permintaan jatah saham, mengkianati rakyat Indonesia yang menghendaki berakhirnya cengkraman PT Freeport di tanah papua.
Di atas segala-galanya dari semua aspek, sepak terjang Setya Novanto, mencerminkan lemahnya 'moral integrity' seorang pemimpin. Pemimpin atau wakil rakyat harus mengutamakan kepentingan rakyat daripada kepentingan pribadi.
Sekali lagi, kasus Setya Novanto adalah akumulasi dari perbuatan yang serupa yang dilakukan oleh orang yang berbeda, pada level yang berbeda, dan kepada orang yang beda pula. Bahkan dilakukan kepada orang-orang kecil.
Misalnya, orang sering meneror orang lain atas nama orang yang memiliki pengaruh atau kekuasaan. Seorang staf meneror staf lain atas nama atasan langsung. Demikian seorang atasan langsung meneror bawahan atas nama atasan di atasnya dan seterusnya.
Orang dengan mudah untuk meraih keuntungan bagi dirinya sendiri dengan cara mencatut nama atasan nya. Situasi seperti ini, logika orang yang diteror menjadi lemah. Nurut aja! Tanpa beragumentasi atau berdalil sedikit pun.
Di negeri ini, mencatut itu bisa dengan banyak cara. Kenyataan yang sering terjadi - di lingkungan birokrasi misalnya, seorang kepala untuk mencapai sesuatu dengan mencatut atau atas nama "KEBIJAKAN".
Misalnya, memangkas honor pekerjaan staf sekian persen dengan alasan KEBIJAKAN. Lebih lucu lagi, ada yang terang-terangan menulis alasan atau item yang sebenarnya sudah dialokasikan dalam anggaran. Berbeda hal dengan KEBIJAKAN - peruntukannya tidak jelas karena tidak diakomodir dalam penganggaran.
Karena inilah, banyak orang berlindung balik KEBIJAKAN untuk memangkas haknya orang. Lemahnya, secara administrasi tidak dapat dipertanggungjawabkan. Kebijakan pun menjadi buram. Pertanyaan pun muncul; apakah ini benar-benar kebijakan?