Mohon tunggu...
Iwan Kempling
Iwan Kempling Mohon Tunggu... -

swasta

Selanjutnya

Tutup

Politik

Surat Terbuka untuk Amien Rais

7 Mei 2017   04:26 Diperbarui: 7 Mei 2017   05:49 2135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Yang  terhormat Bpk. Amien Rais,

Saya mengetahui nama bapak saat masih sekolah di salah satu perguruan tinggi. Kebetulan minat kita sama, bidang sosial politik. Waktu itu sebagai mahasiswa dengan idealisme yang tinggi, saya kagum dengan pemikiran-pemikiran bapak yang bernas dan membangkitkan semangat untuk menggeluti bidang politik secara baik dan benar, dalam rangka memajukan bangsa dan negara tercinta.  Saya menyimak ceramah-ceramah bapak dengan seksama, hanya memang saya belum pernah mengikuti kelas bapak secara langsung.  Saya menimba ilmu dari bapak sebagai seorang profesor ahli masalah Timur Tengah, sebuah kawasan yang sampai hari ini masih menyisakan banyak persoalan, sebagai pembelajaran untuk memupuk semangat nasionalisme.

Setelah lulus, saya tidak lagi mengikuti perkembangan kegiatan bapak, sampai suatu ketika bapak tampil di kancah perpolitikan nasional sebagai salah satu motor penggerak reformasi. Dengan kendaraan partai yang bapak dirikan, PAN, bapak membidani lahirnya Poros Tengah, sebagai salah satu alternatif politis dalam memecahkan persoalan bangsa, melalui kepemimpinan yang kredibel. Alhasil Poros Tengah berhasil menempatkan Gus Dur sebagai Presiden ke-4, padahal partainya bukan pemenang Pemilu. Tetapi benarkah bahwa Poros Tengah sebenarnya adalah kendaraan yang bapak pakai untuk menggapai RI 1 pada saat itu? Tetapi pada kenyataannya bapak tidak bisa menjadi RI 1 melalui kendaraan yang bapak ciptakan? Hanya bapak dan Tuhan yang tahu.

Berpijak dari peristiwa itulah, saat ini kekaguman saya kepada bapak berangsung-angsur memudar … dan hilang, berganti dengan kemuakan dan kejijikan. Perubahan pandangan saya kepada bapak ini, paling tidak didasari oleh 2 hal, yaitu,

Pertama, rupa-rupanya bapak adalah manusia yang mabuk kekuasaan. Ijinkan saya melihat bapak sebagai pribadi yang menjadikan kekuasaan sebagai nilai yang tertinggi dalam hidup bapak. Sebagai nilai tertinggi, pantas bagi bapak mengejar kekuasaan itu sampai mendapatkannya. Bapak tidak akan berhenti mengejarnya, sebelum kekuasaan itu bapak raih. Bagi saya bapak luar biasa! Sebagai umat Tuhan yang semakin lanjut usia, bapak lebih memilih mengejar kekuasaan dari pada kedekatan dengan Tuhan. Bapak memilih melakukan berbagai manuver-manuver politik jalanan yang bernada kebencian, daripada tindakan amal kesolehan yang merangkul semua anak bangsa. Bapak memilih menyampaikan orasi kampungan yang berpotensi merusak persatuan dan kesatuan, daripada memberikan tauziah-tauziah menyejukkan supaya umat lebih arif dan bijaksana dalam mensikapi persoalan yang ada, dengan tetap mengedepankan persatuan dan kesatuan. Bapak lebih memilih menistakan liyan yang berbeda dengan bapak, daripada memuliakannya. Saya memahami bahwa liyan adalah ‘the other of me’, maka jika bapak menistakan liyan, sesungguhnya bapak sedang menistakan diri sendiri.  Ijinkan saya melihat bapak sebagai salah sosok menakutkan nan menyeramkan yang pernah dimiliki oleh Ibu Pertiwi. Saya hanya membayangkan betapa sedihnya Ibu Pertiwi melihat salah satu anaknya menikam saudara-saudaranya sendiri dengan tikaman mematikan. Sebagai sesama anak kandung Ibu Pertiwi, ijinkan saya menyerukan kepada bapak untuk berhenti bermanuver, berhenti menyampaikan orasi yang provokatif dan berhenti menistakan liyan. Semua anak kandung Ibu Pertiwi mempunyai kedudukan yang sama di mata Tuhan. Bukankah begitu Prof.?

Kedua, bapak menggunakan cara apapun, bahkan cara yang terlalu kotor untuk mendapatkan kekuasaan itu. Sejujurnya saya tidak bisa memahami apa yang bapak lakukan selama ini, saya simpulkan dengan satu kata dalam bahasa Jakarta-an, “nggrecokin”.  Alih-alih bapak menggunakan terminologi kerakyatan lah, demokrasi lah, reformasi lah … semuanya bagi saya bak kotoran kucing rasa coklat. Maaf saya harus menggunakan istilah itu untuk menunjukkan betapa menyesalnya saya kepada bapak yang saya hormati.  Saya teringat tokoh Sangkuni dalam kisah Mahabharata. Sangkuni adalah tokoh cerdas-terdidik, punya daya tarik, punya akses kepada penguasa, dan punya senjata ampuh Pancasona. Dia sangat digdaya dan sulit terkalahkan, kecuali oleh Bima. Tetapi sayang semua kelebihan dan kapasitasnya itu digunakan untuk memfitnah, memprovokasi dan menghancurkan Pandawa. Dalam dunia pewayangan Sangkuni digambarkan sebagai tokoh licik, serakah, fanatik dalam arti negatif, bersikap primordial, bergembira di atas penderitaan orang lain, pandai menggunakan kesempatan dan kesempitan, dan kejam. Saya percaya bapak tidak akan bersedia mendapatkan gelar Bapak Sangkuni Indonesia. Tetapi, jujur dan maaf pak, label itu sudah melekat pada diri bapak. Entah siapa yang memulainya, saya tidak tahu. Saya percaya bapak pun sudah mengetahui hal ini.  Sekali lagi saya menegaskan sebagai sesama anak kandung Ibu Pertiwi, biarlah kekuasaan itu Tuhan yang mengatur. Kalau Tuhan mau memberi kekuasaan itu kepada bapak, walaupun seluruh dunia menentangnya, bapak tetap akan menjadi orang yang berkuasa. Tetapi jika Tuhan tidak mau memberi kuasa kepada bapak, mau diupayakan bagaimanapun juga, bapak tidak akan menjadi orang yang berkuasa.

Sebagai mantan mahasiswa yang mengagumi bapak, saya tidak ingin bapak terjerembab ke dalam lubang dosa yang semakin dalam. Untuk itu dengan segala hormat dan kasih, saya mengajak bapak untuk merajut kembali kebhinekaan Indonesia yang mulai terkoyak. Saya percaya, dengan kapasitas dan intelektual yang bapak miliki dari Tuhan, bapak dapat mengemban amanat Tuhan untuk memperjuangkan insan Indonesia yang bermartabat, tanpa membedakan suka, agama, ras dan golongan. Kecuali kalau bapak bukan anak kandung Ibu Pertiwi dan bukan orang yang bermartabat. Terimakasih.

Salam,

Mantan mhs yang sering mendengar ceramah bapak.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun